Ini memang paradoks. Paradoksal ini terbentuk, sebab ruang kebenaran dan moralitas sejak dari dulu telah dikooptasi oleh elit-elit feodal berkuasa, dalam mendefinisikan definsi-definis moral kepada msyarakat.
Kita yang geram melihat film Joker misalnya, adalah bukti bahwa pendefinisan moralitas kita murni terkooptasi oleh pendefinisan moralitas borjuis, elitis, yang selalu memandang 'kekacauan' sebagai amoral.
Namun ada yang kita lupakan. Di alam percampuran antara feodalisme dan kapitalisme sekarang ini, irisan-irisan rasa sakit dari pengebiran hak-hak hidup terjadi melahirkan gumpalan-gumpalan kekecewaan dan keputusasaan yang massal sebagai konsekuensi. Beginilah kenyataannya.
Pada titik tertentu ia akan meluber begitu saja, menemukan bentuknya yang bermacam-macam. Orang yang mengaku normal menyebutnya sejenis kegilaan. Tapi salah. Toh, kemudian batas antara kegilaan dan kewarasan tak ada.
Satu-satunya yang membedakan seperti kata Foucault hanyalah jumlah. Yang merasa waras lebih banyak daripada yang gila. Itu saja.
Pada dasarnya, semua manusia itu gila. Orang-orang yang belajar psikologi secara dalam memahami hal itu. Kegilaan yang lahir dari fatalisme hidup yang tak pernah berjalan dalam pijakan-pijakan rasionalitas.
Rupa-rupa manusia belajar 'berdamai' dengan itu. Ada yang menjinakkan diri lewat kepercayaan ataupun agama.
Tapi ia berbeda dengan Joker. Kepedihan psikis, dan keterbunuhan eksistensial yang dialami membawa dampak yang melampaui keterbunuhan eksistensial manusia pada umumnya. Ia menghidupkan tangis dan tawa dalam satu kesatuan psikis dan kekacauan di satu sisi.
Ketika manusia sudah mengalami titik terdalam dari ketangisan eksistensial, maka satu-satunya ekspresi yang kepedihan yang tersisa adalah tertawa. Memilih untuk tertawa, menertawakan diri, menertawakan kehidupan, dan segala bentuk penderitaan yang terjadi dan dialami, sebagai sebuah komedi.
Manusia yang lemah, dan dilemahkan terus menerus, tanpa pernah memenangkan perlawanan, maka menertawai adalah bentuk perlawanan terakhir dari diri akan seluruh ketertindasan yang menimpa.
Dititik itu, tragedi persis berubah menjadi komedi. Lantas apakah dengan begitu, tragedi menjadi hilang? Tentu saja tidak. Pada titik itu tragedi menjadi semakin dalam pada ruang rasa sakit yang tak bisa lagi diutarakan.