Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggapan atas Sinisme Demo Guru: Suatu Fallacy

15 Februari 2016   03:05 Diperbarui: 15 Februari 2016   14:57 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal itu sama kalau ada orang berkata, “Biarkanlah kita jadi guru dengan upah yang tidak memanusiakan (atau ditindas), nanti di surga kita rasakan manfaatnya!”. “Semakin ditindas, semakin membuat kita mulia, kita mulia karena ditindas”. Logika seperti ini, saya bisa bilang, adalah bentuk nyata bahwa pembodohan ala kolonial masih bercokol di pikiran masyarakat sampai saat ini.

Ini mirip dengan perkataan yang menganggap penderitaan (meskipun bukan karena pilihan, melainkan paksaan), penderitaan adalah bentuk kedekatan dengan Tuhan, semakin menderita semakin dekat dengan Tuhan. “Toh, semuanya juga karena Tuhan, kita miskin karena dicoba Tuhan, kita kaya juga karena dicoba Tuhan”. Menurut saya kesalahan berpikir tersebut, alih-alih mentauhidkan diri, justru sebaliknya, mensyirikkan diri. Kenapa?. Karena menganggap derita (karena ditindas) pun dari Tuhan! (maha suci Tuhan dari segala tudingan miring seperti itu!).

Yang saya ingin katakan, bukankah agama justru diutus untuk mengajak manusia berpikir, dan menemukan akar persoalan kemanusiaan yang terjadi, lalu diwajibkan manusia untuk menyeleseikan persoalannya sendiri, itulah agama yang saya pahami. Apa artinya?,  kalau persoalan sosial terjadi, itu berarti itu juga harus ditemukan sebabnya di kehidupan itu sendiri. Guru tidak diupah dengan layak, itu bukan takdir yang harus diratapi dengan kegembiraan, tapi itu penindasan yang harus dilawan. Penindasan itu persoalan kemanusiaan. Itu berarti, persoalan guru adalah persoalan kemanusiaan.

Jadi, apakah tindakan guru berdemo adalah perilaku tidak terpuji?. Menurut saya, itu langkah konkrit untuk menjalankan perintah agama, mencari jalan atas persoalan sosial, dan bergerak untuk menuntut karena hak. Justru ketika tidak ada riak untuk mempersoalkan ketidakadilan yang terjadi, disitulah pertanda bahwa agama telah membeku dalam pikiran, yang tertinggal hanya hafalan. Kenapa?. Karena membiarkan ketidakadilan dan perampasan adalah bentuk nyata pengingkaran terhadap agama!.

Meski terlalu jauh berbicara agama. Tanpa membincangkan agama pun, kita bisa menerima pengwajaran atas demo guru. Ini saya singgung, karena banyak yang sinis, justru menggunakan argumen-argumen keagamaan, yang menurut saya cukup dangkal.

Cukuplah sejarah masa lalu yang menjadikan agama sebagai alat untuk menindas, menindas sejak dalam pikiran!. Saatnya harus menjadi kekuatan pembebas, membebaskan sejak dalam pikiran!.

Kesalahan berpikir ketiga, menganggap demo adalah tindakan tidak terpuji dihadapan siswa?. Justru saya ingin katakan, bukankah sebaliknya?. Membiarkan ketidakadilan adalah justru perilaku tidak terpuji di hadapan siswa.

“Realitas demo dianggap tidak terpuji dimata siswa”, sebenarnya adalah pemikiran yang lahir sebagai buah dari sistem pendidikan yang nyata terlepas persoalan kehidupan saat ini. Moral yang disemai di sekolah selama ini, memang bias dengan karakternya yang elit borjuis. Moralitas pentaklikan terhadap otoritas, yang dianggap terpuji. Karkater yang penuh kepatuhan (beda sedikit dengan kesialan) yang dianggap terpuji. Ini sama dengan banyaknya orang yang beranggapan bahwa, tipikal siswa yang dianggap terpuji di sekolah, adalah yang bisa diam, tidak banyak protes, menerima segala sesuatunya dengan lapang dada, meski itu adalah kesalahan. Guru adalah kebenaran, meskipun guru tidak benar, ia harus diterima sebagai benar, menolaknya adalah perilaku tidak terpuji.

Buah dari kesalahan itulah yang membuat kita memposisikan, bahwa demo guru tidak terpuji.

Padahal sebaliknya, ini adalah bentuk pembelajaran terbaik kepada siswa, akan bagaimana agar pemahaman hak dan kewajiban yang dilafalkan tidak sekadar mengendap dan membeku dalam kepala. Bahwa butir-butir pancasila, tentang keadilan dan kesejahteraan bukan sesuatu yang terberi, melainkan realitas yang harus diperjuangkan terus menerus. Seperti halnya para pendiri bangsa yang berjuang menegakkan pancasila, kita pun sama, hari ini berjuang agar pancasila dijalankan, dari banyaknya orang yang ingin merongrong keberadaannya, salah satunya lewat pengingkaran kekuasaan terhadapnya.

Kesalahan berpikir keempat, cibiran lahir, karena sang pencibir terlalu naïf, sulit membedakan mana kebaikan dan mana keadilan. Kebaikan dan keadilan, dicampurbaurkan, seperti tidak bisa menarik garis pembeda di antaranya. Contohnya: guru yang menuntut keadilan, justru dihakimi secara moral, dengan mengaggap itu memalukan, tidak terpuji dan sejenisnya. Mirip dengan kebiasaan sebagian masyarakat, yang ketika ada perdebatan-perdebatan objektif, justru dihakimi dengan penilaian-penilaian subjektif. Perbincangan persoalan sosial justru dibalas dengan caci maki personal. Mirip kebiasaan sebagian politisi kita, saat suasana debat gagasan, ketidakmampuan untuk memberikan respon logis, justru akan berujung pada peghakiman personal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun