Samosir, 27 Mei 2025 — Di balik pesona alam Danau Toba yang memikat, tersimpan sebuah situs sejarah yang tak kalah mencengangkan: Huta Siallagan. Terletak di Desa Siallagan Pinda Raya, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Huta Siallagan dikenal sebagai desa adat Batak Toba yang dulunya diduga kuat sebagai tempat praktik kanibalisme. Sebuah kawasan wisata di tepian Danau Toba, peninggalan budaya Batak Toba dengan ciri khas latar belakang Rumah Bolon.Â
Sejarah Huta Siallagan
Huta Siallagan adalah sebuah kampung yang dibentuk oleh para orang tua terdahulu. Huta Siallagan ini dibentuk oleh kelompok Marga Siallagan, yang dulu ada rajanya. Dialah yang mengayomi semuanya. Â Huta yang berarti "desa" dalam bahasa Batak ini, diperkirakan berdiri sejak abad ke-13 dan didirikan oleh Raja Laga Siallagan. Desa ini dikelilingi tembok batu setinggi dua meter yang berfungsi sebagai pertahanan dari serangan luar. Membentuk huta ini dimulai dengan kayu, yang kemudian tumbuh di lokasi yang saat ini disebut Huta Siallagan. Sebab jika kayu tumbuh menjadi pohon, maka dipastikan ada air. Karena air sumber penghidupan. Saat ini masih banyak peninggalan sejarah di Huta Siallagan. Peninggalan sejarah tersebut tersimpan di Museum Huta Siallagan, di dekatnya ada Rumah Bolon, yang berada di area Huta Siallagan.Â
Salah satu peninggalan yang paling menarik adalah "Batu Persidangan" formasi batu menyerupai meja dan kursi tempat raja dan para penatua mengadili pelanggar hukum adat. Konon, hukuman terberat berupa pemenggalan kepala dan menurut cerita rakyat praktik kanibalisme dilakukan terhadap para penjahat berat.
Menurut kepercayaan dan cerita turun-temurun, mereka yang dihukum mati adalah pembunuh, pengkhianat, atau pelanggar adat berat. Setelah dipenggal, dagingnya dimasak dan dimakan sebagai simbol penegakan keadilan. Â Huta Siallagan sendiri memiliki luas sekitar 1,5 hingga 2 hektar, dan masih berdiri tegak sejumlah Rumah Bolon. Bahkan salah satu bangunannya ada yang sudah berusia ratusan tahun, dan ditempati oleh para keluarga dan keturunan-keturunan raja.
Dijuluki sebagai desa Kanibal?
Dahulu kala, Huta Siallagan juga dikenal sebagai julukan desa kanibal. Hal tersebut berdasarkan cerita-cerita sejarah, bagaimana eksekusi tragis yang dilakukan kepada pelaku kejahatan. Menurut cerita, pada jaman dahulu orang yang melakukan kejahatan seperti mencuri, merampok, memperkosa, dan lainnya akan dieksekusi di batu persidangan. Batu persidangan dikelilingi kursi yang terbuat dari batu dan menjadi tempat duduk raja saat mengeksekusi. Setelah dieksekusi, pelaku kejahatan tersebut akan diambil organ tubuhnya. Bagian hati dan jantungnya akan dikonsumsi oleh raja yang dipercaya menambah kekuatan sang raja.
Sementara bagian tubuhnya akan dibuang ke Danau Toba selama 7 hari dan 7 malam. Dalam waktu tersebut, warga dilarang beraktivitas di kawasan Danau Toba. Kemudian, bagian kepalanya akan digantung, diletakkan di depan gerbang masuk Desa Huta Siallagan, sebagai peringatan kepada warga agar tidak berbuat hal yang sama. Namun kisah tersebut sudah lama berakhir, tepatnya di abad ke-19, ketika agama Kristen Protestan mulai masuk ke kawasan Danau Toba, termasuk ke Huta Siallagan oleh misionaris asal Jerman yang bernama Ludwig Ingwer Nonmensen.
Saat ini, Huta Siallagan menjadi salah satu desa wisata di kawasan Danau Toba yang memiliki kisah menarik serta peninggalan bersejarah.
Meskipun cerita tentang kanibalisme itu belum sepenuhnya terkonfirmasi secara ilmiah, situs ini tetap menjadi saksi sejarah penting yang menggambarkan kompleksitas kehidupan hukum dan sosial masyarakat Batak Toba di masa lalu. Kini, Huta Siallagan telah direvitalisasi sebagai situs wisata budaya. Rumah-rumah adat (Rumah Bolon), tembok batu, hingga Batu Persidangan dijaga dan diperkenalkan kepada pengunjung sebagai bagian dari warisan leluhur yang kaya. Dengan segala keunikannya, Huta Siallagan bukan sekadar tempat wisata, melainkan ruang refleksi akan kearifan lokal, hukum adat, dan sisi gelap sejarah yang tak bisa diabaikan.