Mohon tunggu...
Haikal Marley
Haikal Marley Mohon Tunggu... Mahasiswa

"Find your peace, spread the love, and let your soul roam free. 🌻✌️ #PeaceAndLove #Hippie #Freedom"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Genjer-genjer, PKI, dan Politik Ingatan: Kajian dengan Pendekatan Marxis

10 September 2025   07:39 Diperbarui: 10 September 2025   07:39 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Muhammad Arief (Sumber: Wikipedia Muhammad Arief) 

Baris-baris lirik yang menceritakan orang-orang pergi ke sawah, memetik genjer, lalu menjualnya di pasar, memperlihatkan siklus ekonomi subsisten rakyat miskin. Aktivitas itu menggambarkan kelas bawah yang hidup dalam keterpaksaan, terjebak dalam lingkaran kerja dan kelaparan. Dengan pendekatan Marxis, genjer dapat dimaknai sebagai alegori komoditas proletar---murah, mudah didapat, dan tidak memberi surplus kapital.

Pada tataran ideologi, PKI membaca lirik ini sebagai simbol perjuangan kelas. Genjer adalah lambang rakyat miskin yang harus diangkat martabatnya. Sebaliknya, Orde Baru menempelkan makna oposisi: genjer bukan lagi makanan rakyat, melainkan simbol kejahatan politik. Inilah yang disebut Stuart Hall sebagai pertarungan makna (struggle over meaning)---di mana teks budaya selalu terbuka untuk diisi ideologi yang berbeda.

Genjer-genjer sebagai Teks Politik

Melalui perjalanan sejarahnya, Genjer-genjer memperlihatkan bagaimana karya seni bisa dimanipulasi dalam medan politik. Dari media kritik kolonialisme Jepang, ia berubah menjadi instrumen propaganda PKI, lalu disakralkan Orde Baru sebagai lagu terlarang yang membangkitkan rasa takut. Dalam setiap rezim, maknanya tidak pernah statis. Ia menjadi "teks politik" yang terus direproduksi sesuai kepentingan kekuasaan.

Hari ini, ketika stigma komunisme masih sensitif di Indonesia, perdebatan tentang Genjer-genjer membuka ruang refleksi: bagaimana kita memahami seni, ideologi, dan sejarah bukan sebagai kebenaran tunggal, melainkan sebagai arena kontestasi makna. Lagu ini sekaligus menjadi cermin bahwa politik ingatan dapat mengubah nyanyian rakyat sederhana menjadi simbol ideologis yang sarat kontroversi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun