Lagu Genjer-genjer adalah salah satu artefak budaya paling kontroversial dalam sejarah Indonesia modern. Ia bukan sekadar lagu rakyat dari Banyuwangi, melainkan teks kultural yang menjadi medan perebutan makna antara seniman, partai politik, dan rezim penguasa. Dengan menelusuri jejak sejarah penciptaannya dan menganalisis tanda-tanda yang terkandung di dalam liriknya, kita dapat memahami bagaimana Genjer-genjer menjadi bagian dari politik ingatan bangsa yang penuh luka.
Asal-usul dan Transformasi Makna
Muhammad Arief menciptakan Genjer-genjer pada 1942, di tengah penderitaan rakyat akibat penjajahan Jepang. Genjer, tumbuhan rawa yang biasa dianggap makanan ternak, tiba-tiba menjadi santapan utama masyarakat miskin yang kelaparan. Arief menangkap fenomena ini lalu mengubahnya menjadi lagu sederhana. Pada level awal, Genjer-genjer adalah ekspresi realis: sebuah kritik sosial yang menyingkap kondisi material rakyat bawah.
Namun, makna itu bergeser ketika Arief bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di awal 1960-an. Lekra adalah organisasi seni yang berpihak pada rakyat miskin dengan spirit realisme sosialis, dan dekat dengan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam konteks ini, Genjer-genjer bukan lagi sekadar catatan penderitaan, tetapi juga dijadikan instrumen politik. PKI sadar bahwa seni dapat menggerakkan massa, sehingga lagu ini diperdengarkan secara intensif melalui RRI dan TVRI, bahkan dinyanyikan artis-artis populer untuk menjangkau publik luas. Strategi ini efektif: Genjer-genjer menjadi simbol budaya rakyat sekaligus resonansi ideologi perjuangan kelas.
Politik Ingatan dan Orde Baru
Perubahan drastis terjadi pasca 30 September 1965. Rezim Orde Baru membalikkan makna Genjer-genjer. Lagu yang semula populer di kalangan masyarakat, diposisikan sebagai simbol pengkhianatan PKI. Bahkan, berkembang mitos bahwa lagu ini dinyanyikan ketika para perwira Angkatan Darat disiksa di Lubang Buaya. Dari sini, Genjer-genjer tidak lagi dipahami sebagai karya seni rakyat, melainkan sebagai "lagu terlarang" yang diasosiasikan dengan kekerasan politik.
Lalu pada tahun 1965 Arief selaku pencipta lagu ditangkap dan tidak pernah kembali. Hilangnya sang seniman mempertegas bagaimana Orde Baru melakukan damnatio memoriae---penghapusan ingatan---terhadap individu maupun karya yang dianggap terhubung dengan komunisme. Dalam politik ingatan, Genjer-genjer adalah contoh bagaimana sebuah teks budaya direpresi, namun jejaknya tetap hidup dalam ketakutan, stigma, dan bisikan-bisikan generasi.
Analisis Semiotika: Genjer sebagai Tanda
Jika dilihat dari kacamata semiotika, lirik Genjer-genjer memuat tanda-tanda yang merepresentasikan kondisi sosial. Kata "genjer" sendiri adalah penanda (signifier) dari sebuah tumbuhan rawa. Namun, pada level petanda (signified), ia merujuk pada kelaparan, kemiskinan, dan kondisi hidup rakyat kecil. Dalam kerangka Barthes, genjer menjadi mitos baru: makanan rakyat jelata yang menyimbolkan posisi proletariat dalam struktur sosial.