Media sosial belakangan ini ramai memperbincangkan fenomena "ani-ani" --- istilah gaul yang merujuk pada perempuan muda yang menjalin kedekatan dengan pria-pria mapan. Sekilas tampak sebagai tren modern, namun sejatinya, pola relasi ini sudah berakar dalam sejarah panjang bangsa, sejak masa pergundikan di era kolonial. Apakah ini sekadar wajah baru dari kisah lama?
1. Sejarah Pergundikan di Nusantara
Pada masa kolonial Belanda, praktik pergundikan menjadi bagian dari realitas sosial. Perempuan lokal "dipelihara" oleh pria-pria Eropa, membentuk relasi yang unik di tengah ketimpangan kekuasaan. Gundik tidak hanya berperan sebagai pasangan tanpa ikatan resmi, tetapi juga kerap memiliki pengaruh dalam kehidupan sosial, ekonomi, hingga budaya.
Pergundikan banyak terjadi di pusat-pusat perdagangan dan administrasi seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Meski diakui dalam praktik sosial, para gundik tetap berada di posisi yang terpinggirkan dalam struktur masyarakat.
2. Fenomena Ani-Ani Masa Kini
Istilah "ani-ani" kini menjadi populer untuk menggambarkan perempuan muda yang menjalin hubungan dengan pria mapan. Meskipun sering diasosiasikan dengan motif materialistis, tidak semua hubungan ini bisa disederhanakan begitu saja.
Perkembangan media sosial telah mempercepat penyebaran fenomena ini, menciptakan ruang baru di mana pola relasi serupa pergundikan kembali muncul, meski dalam konteks yang berbeda. Hari ini, hubungan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh pilihan personal di tengah dinamika ekonomi dan sosial yang berubah.
3. Perbandingan Reflektif
Jika dicermati, relasi kekuasaan berbasis ekonomi masih menjadi benang merah yang menghubungkan pergundikan zaman dulu dan fenomena ani-ani masa kini.
Namun, perbedaan besar terletak pada posisi perempuan hari ini yang lebih memiliki kebebasan memilih dan kemampuan untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri. Fenomena ini sepatutnya dipandang dengan kacamata sosiologis, bukan sekadar moralistik.
4. Mengapa Perlu Belajar dari Sejarah?
Sejarah pergundikan mengajarkan kita bahwa fenomena sosial tak pernah lahir dari ruang hampa. Memahami akar sejarah hubungan semacam ini membuat kita lebih bijak dalam menyikapi dinamika masa kini, tanpa mudah menghakimi atau melabeli.
Pada akhirnya, perubahan sosial adalah keniscayaan. Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan juga cermin untuk memahami perjalanan manusia.
Contoh Kasus
*Disclaimer*: Kasus ini hanya untuk tujuan ilustrasi.
Sebut saja D, seorang perempuan muda yang merantau ke Jakarta demi mengejar karier. Dalam perjalanannya, D bertemu dengan seorang pria paruh baya berinisial F, seorang pejabat perusahaan swasta. F menawarkan dukungan finansial dan fasilitas hidup mewah sebagai imbalan atas hubungan spesial yang mereka jalani. Bagi D, hubungan ini adalah bentuk perjuangan untuk bertahan hidup di tengah kerasnya persaingan kota besar. "Saya tahu risikonya, tapi ini pilihan saya," ujar D saat diwawancarai secara anonim.
Fenomena "ani-ani" mungkin tampak sebagai cerita baru dalam kehidupan modern. Namun, sejarah pergundikan mengingatkan bahwa manusia, sepanjang zaman, selalu bergulat dalam pusaran cinta, kekuasaan, dan kebutuhan. Di tengah perubahan zaman, marilah kita menatap masa kini dengan kebijaksanaan sejarah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI