Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Petuah Ihwal Tulis-Menulis dari Tony Mahavorick

29 Juli 2016   19:06 Diperbarui: 29 Juli 2016   19:51 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: networthinsider.com

Rumahnya gelap gulita, seperti gua yang pintunya ditutupi bongkahan batu besar. Tak ada cahaya sama sekali. Tetapi Tony tak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa tak berdaya. Listrik di rumahnya terpaksa dipadamkan karena ibunya tak mampu membayar tagihan. Alhasil, mereka gelap-gelapan. Hingga tebersit ide untuk membeli lilin, sekadar mengusik gelap agar mata tak melulu dipenuhi warna hitam.

Tony lahir di tengah keluarga miskin. Jangankan bayar tagihan listrik, buat makan saja susah. Tak heran bila ia sering mendapati rumahnya berselimut kegelapan. Tetapi, seperti remaja lainnya, ia tidak kerasan. Ia tidak ingin sepanjang hayat dirongrong rupa-rupa derita. Maka, ia memutuskan untuk meninggalkan ibu dan ayah tirinya demi penghidupan baru yang lebih benderang.

Begitulah garis tangan Tony. Ia tidak muluk-muluk, cuma ingin mengubah nasib. Meskipun tak jelas arah langkah, ia terus berjalan. Mula-mula ia bertahan hidup dengan bekerja sebagai penjaga kakus. Tidak apa. Yang penting baginya ialah tempat bernaung saat hujan dan dapat uang untuk menghentikan perih di perut—yang tak henti-henti melilit. Apakah ia ditakdirkan seumur hidup menjadipenjaga kakus? Tidak. Takdir memang selalu rahasia.

Dua hari ini Tony mendatangi saya. Sekarang tampilannya perlente. Pakaiannya necis, rambutnya tersisir rapi. Ia sudah kaya, tenar, dan sering diundang jadi pembicara di mana-mana. Saya betah mengobrol dengannya. Betah banget. Ada saja yang kami bincangkan. Oh, sebenarnya bukan perbincangan biasa, melainkan lontar-sambut pertanyaan.

Seberapa besar pengaruh kata-kata bagimu? Itulah pertanyaan pertama yang ia lontarkan seraya mengulum senyum. Saya terperangah. Tertegun beberapa jenak. Alih-alih menjawab, saya malah sibuk bertanya pada diri sendiri. Apakah tulisan-tulisan saya selama ini sudah mengalirkan makna dan menghadirkan faedah? Apakah tulisan-tulisan saya cuma hamparan kata-kata yang diam dan tak bertenaga? Apakah tulisan-tulisan saya bermanfaat bagi khalayak pembaca?

Sejenak saya tengadah, lalu kembali menunduk. Setiap tulisan selalu saya anggap sebagai anak rohani—susah payah dikandung di dalam benak, dilahirkan dan dibesarkan sepenuh cinta—yang saya biarkan bertualang ke pelbagai tempat agar bertemu banyak pembaca. Tetapi, sungguh, saya belum pernah membayangkan apakah kehadiran anak-anak rohani saya itu berguna atau tidak bagi khalayak pembaca. Selama ini saya menulis saja. Ihwal faedah, biarlah pembaca sendiri yang menemukan dan merasakannya.

Ah, sudahlah. Sekarang kita kembali dulu pada pertanyaan Tony. Bagi saya, kata-kata selalu bermakna. Pengaruhnya amat berasa. Saban bangun pagi, misalnya, saya tidak pernah membiarkan hati dan benak saya disesaki kata-kata beraroma negatif—seperti kemarahan, kebencian, kekecewaan, dan kesedihan. Saya lebih suka memasuki hari dengan kata-kata berbau positif. Biar bersemangat. Itu saja alasan saya. Akan tetapi, bagaimana dengan tulisan saya? Apakah tulisan yang saya lahirkan sudah meruntuhkan alih-alih mengutuhkan semangat pembaca? Apakah kata-kata yang dihamburkan jemari saya memadamkan alih-alih mengobarkan hasrat pembaca? Saya tak menemukan jawaban apa-apa dan hanya bisa mengelus dada.

Kata-kata bisa mematikan. Kali ini bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Di hadapan saya, Tony tersenyum seolah-olah menegaskan kembali pernyataannya. Itu sebabnya, tuturnya lagi, para dokter berhati-hati dalam menggunakan kata-kata. Saya mengangguk. Setuju. Terbayang bila seorang dokter salah pilih kata saat menanyai pasiennya. Penyakit yang Tuan derita sudah banyak menelan korban. Bila kalimat seperti ini yang dituturkan Pak Dokter, bisa-bisa pasiennya patah semangat.

Selain itu, pernyataan Tony serasa menyodok lambung saya. Betapa tidak, saya menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal daya kata, saya harus berhati-hati menggunakan papan tik Qwerty. Harus cermat, harus teliti. Jika tidak, bisa berabe. Saya ingin memesan toket, Bu! Bayangkan reaksi penjual tiket jika yang ingin saya tik adalah tiket, tapi yang muncul malah toket. Simak juga contoh berikut. Saya pikir, Bapak sudah tahi. Atau: Saya turut bersukacita atas wafatnya ibumu. Kalimat pertama mungkin akan melukai hati Si Bapak, sementara kalimat kedua pasti akan menyakiti perasaan oang yang sedang berdukacita.

Lagi pula, huruf u dan i diletakkan bersisian, begitu pula dengan huruf s dan d. Namun, saya tidak akan menggugat Christopher Sholes karena caranya menyusun abjad ala Qwerty. Saya juga tidak akan menggerutu lantaran modifikasi papan tik yang digagas August Dvorak gagal mendobrak dominasi Sholes. Saya hanya ingin menandaskan bahwa, contoh di atas sebatas menunjukkan betapa pentingnya kecermatan dan ketelitian dalam menulis. Sekali lagi, kata-kata bisa mematikan.

Lewat pernyataan itu, sepertinya Tony juga ingin menegaskan bahwa setiap penulis harus cermat dalam memilih kata. Barisan huruf yang kita jalin-taut hingga tiba ke hadapan pembaca pasti membawa tuah. Tak ayal, kita harus berhati-hati. Kecuali kita menghendaki pembaca dipenuhi aura atau emosi negatif setelah membaca tumpahan pikiran, gagasan, atau pandangan kita. Dan, tentu saja, naif jika kita menulis dengan tujuan seperti itu. Lain halnya bila tulisan yang kita anggit ditujukan untuk konsumsi diri sendiri. O tidak, itu juga tidak baik kita lakukan. Bagi saya, tindakan paling dungu adalah menyakiti hati sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun