Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Inilah 7 Petuah Eyang Pramoedya yang Patut Kita Renungkan

7 Februari 2021   05:51 Diperbarui: 7 Februari 2021   10:29 2146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua. (KOMPAS/SINDHUNATA)

BLORA. 6 Februari 1925. Hari itu Pramoedya Ananta Toer lahir. Sejak usia 10 tahun, Pram--begitu ia disapa--sudah mulai menulis. Pram adalah anak sulung dari 9 (sembilan) bersaudara. Ayahnya guru, ibunya penjual nasi. Ketika ayahnya meninggal, ia mengemban tanggung jawab sebagai tulung punggung keluarga untuk membiayai sekolah adik-adiknya.

Bakat menulis Pram kian terasah ketika berusia 17 tahun. Kala itu, 1942, ia tinggalkan Blora untuk merantau ke Jakarta. Di sana ia bekerja sebagai juru tik di Kantor Berita Jepang, Domei Tsuhin. Selain bekerja sebagai tukang tik, ia juga diikutkan kursus di Sekolah Stenografi.

Di sanalah Pram mulai bersentuhan dengan ensiklopedi. Di sana pula ia makin rajin menulis. Karya demi karya lahir di tangannya. Rupa-rupa yang beliau tulis. Artikel nonfiksi, sejarah, drama, cerita pendek, puisi, bahkan naskah pidato. Tentu saja, novel.

Engkau telah lama pergi, Eyang Pramoedya, tetapi engkau abadi di dalam hati (Ilustrasi: IG/@bemb_beng)
Engkau telah lama pergi, Eyang Pramoedya, tetapi engkau abadi di dalam hati (Ilustrasi: IG/@bemb_beng)
Pada usia 24 tahun, 1949, ia sudah meraih penghargaan bergengsi dari Balai Pustaka. Itulah penghargaan pertama, sekaligus yang terakhir, yang diterima oleh Pram dari negara. Kemarin, 6 Februari 2021, warganet di Twitter merayakan hari lahir Pram. Ada yang mengucap selamat hari lahir dan diam-diam menelan sendu dan takjub, ada pula yang mengutip karyanya.

Bagi saya, Pram adalah guru. Bukan sebatas karena beliau penulis, melainkan karena beliau meninggalkan jejak pemikiran yang sangat inspiratif. Banyak yang lekat dalam ingatan. Bukan hanya saya, sebagian penggemar beliau sanggup menghafal kutipan menarik anggitan Pram.

Pengarang dengan daya ingat yang luar biasa itu telah mengalami banyak ketakadilan. Penjara tanpa pengadilan dan karya yang dilarang beredar hanyalah sedikit dari sekian banyak tindak takadil yang ia terima. Di pengasingan ia tetap menulis. Jejaknya masih ada hingga hari ini.

Pada 22 Juli 1947, ia ditangkap oleh kolonial Belanda. Gara-garanya, ia ketahuan menyimpan dokumen gerakan menentang Belanda. Ia ditahan di Pulau Edam, kemudian dipenjara di Bukit Duri, Jakarta, hingga 1949. Lepas dari penjara, setelah Belanda ngacir dari Nusantara, pada tahun 1950, beliau menjadi redaktur di Balai Pustaka.

Lima belas tahun kemudian, 1965, Penguasa Orde Baru menangkap dan memenjarakan beliau di Tangerang, Salemba, dan Nusakambangan atas tuduhan melakukan tindakan subversif. Tanpa pengadilan, tanpa pembelaan. Selama dipenjara, karyanya berlahiran. Sayang sekali, dirampas dan dibakar oleh tentara.

Pada 1967, Eyang Pram dioper ke Pulau Buru. Di situlah ia menulis Tetralogi Buru. Tidak mudah, sebab data dan bahan roman sudah dimusnahkan oleh tentara. Eyang Pram cuma mengandalkan kekuatan ingatan. Selain itu, apa yang ia tulis ia kisahkan pula kepada tahanan politik lain. Tentu saja, salinan tulisannya ia bagikan pula.

Semua itu beliau lakukan demi mengantisipasi karya-karyanya dirampas dan dimusnahkan oleh penguasa. Terbukti saat dibebaskan pada 1979, naskah-naskah gubahannya dirampas oleh para petugas kamp. Jikalau saja salinan Tetralogi Buru dan Arus Balik tidak diselundupkan keluar bui oleh Tumiso, tahanan lain di Pulau Buru, kita tidak akan sempat membaca karya Eyang itu.

Begitulah. Jalan kehidupan dan kepengarangan Pram tidak pernah mudah.
***

BERBUAT adil sejak dalam pikiran. Itu salah satu petikan favorit yang banyak diunggah warganet. Kemudian, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Namun, dua kutipan itu hanyalah sedikit di antara sekian banyak "buah pikir" Eyang Pram yang cerlang.

Berikut saya sajikan beberapa di antaranya.

Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri. Bagaimana dengan kita? Bagaimana cara kita makan? Apa kita selama ini telah merepotkan banyak orang? Bagaimana dengan karier kita? Apakah kita maju setelah menggasak ke kanan, menggosok ke atas, menggesek ke kiri, dan menginjak ke bawah?

Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Begitu kata Pram. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya. Katanya lagi. Apa dunia Anda? Keluh kesah? Hidup di tengah pusaran keluh kesah tidak akan pernah membawa Anda ke mana-mana. Lihatlah ke sekitar kalian, ada banyak hal yang layak Anda syukuri. Maka berbagi dan berbahagialah.

Intelektual tanpa pelibatan diri dan penalarannya sendiri adalah intelektual blanko. Namanya juga blanko, belum atau tidak berisi apa-apa. Jika ingin hidup selaku intelektual yang berisi, bukan intelektual blanko, libatkan diri dalam bumi manusia dengan persoalannya. Bisa lewat karya, bisa dengan kerja. Semuanya karena rasa kemanusian dan cinta kasih kita kepada sesama.

Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Alangkah banyak orang di antara kita yang hidup dalam belenggu ketakutan. Takut ini, takut itu. Bukan hanya ketakutan individual, kita juga kerap dibekap ketakutan kolektif. Itulah salah satu musabab mengapa bangsa kita pernah tunduk di kaki penjajah. Itu pula sebab yang dapat membuat kita hidup sebagai orang yang selalu "merasa terjajah".

Kesederhanaan adalah kejujuran dan keberanian adalah ketulusan. Banyak di antara kita yang hidup dalam kerangkeng kemewahan. Ada yang memang sangat kaya sehingga memamerkan apa saja yang ia miliki, ada pula yang tanggung--kaya tidak, miskin tidak--tetapi merasa hidupnya paling makmur sehingga petantang-petenteng sepanjang hayat.

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Maka menulislah, sebab itulah cara agar kita tidak hilang dalam ingatan masyarakat. Maka menulislah, sebab itulah cara agar nama melampaui umur kita. Jasad mungkin sudah hancur diganyang cacing, karya kita masih hidup di tengah masyarakat.

Semakin terpelajar seseorang, dia harus semakin tahu batas. Tengoklah ke samping atau malah ke dalam dirimu. Banyak di antara kita yang makin cerdas makin keblinger, makin pintar makin pongah, makin terpelajar makin sengak. Marilah kita mulai membumi. Tahu diri, sadar diri. Tahu batas, sadar kapasitas.

Itulah tujuh petuah Eyang Pram yang layak kita jadikan bekal hati, kita kepal di kepala sebagai azimat hidup, kita tunaikan sehari-hari dalam tabiat dan tindakan. 

Semoga berguna.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun