Senin yang Ada Seni
Pada satu senja dengan hujan yang mencemaskan, kita seperjalanan. Kita duduk bersisian. Mata kita setengah terbuka, telinga kita berbagi luka. Di telinga, senja dan lagu berlomba membuka lemari memori. Resonansi ingatan, katamu.
Di haru hati, kita menanam banyak rahasia: rindu yang sudah lama kita sembunyikan dari liuk mata, lekuk tubuh, dan lepuh lidah. Sepanjang jalan aku jadi pendengar. Ya, kutelan segala kesah yang tumpah dari dadamu. Kutelan begitu saja seolah-olah meneguk ludah.
Kemudian, lidahmu kehilangan kata-kata. Mungkin gara-gara aku yang tak mahir membuka tanya, mungkin karena kepalamu memilih bahuku sebagai tempat labuh letih.
Adapun senja dan telinga, masing-masing sibuk melantunkan lagu luka.
Rabu yang Abu
Pada bulan-bulan berlalu yang melelahkan, sudah sering kita bincangkan perihal perpisahan dan kehilangan. Ibarat pohon, telah kita daras akar, tangkal, batang, dan daunnya. Telah kita bincangkan pula buahnya. Kesedihan namanya.
Akan tetapi, alangkah jarang kita obrolkan bagaimana semestinya menghadapi perpisahan dan kehilangan. Saat mereka tiba, kita tergeragap. Kita seperti terbangun dari tidur panjang, sangat pulas, dan dengan mimpi berlapis-lapis. Mata kita kosong, kepala kita keropong. Dada kita hampa, hati kita duka.
Kita tidak sanggup berkata apa-apa. Kita hanya mampu menyabarkan hati dan menyadarkan diri. Kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kita hanya dapat memenuhi hati dengan doa-doa ketabahan dan menyesaki batok kepala dengan ingatan tentang keberadaan dan kuasa Tuhan.
Hanya itu yang bisa kita lakukan. Hanya itu yang bisa kulakukan!
Sabtu yang Satu