Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tebang Pohon Rasial di Kepala

24 Januari 2021   13:51 Diperbarui: 25 Januari 2021   00:21 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahagia bersama, bersama-sama bahagia (Ilustrasi: publicdomainvectors.org)

Apalagi saat ini kita berada di tengah-tengah era budaya sensasi. Nafsu ingin lekas terkenal membuat segelintir orang rajin bikin sensasi. Ingin caper, jalan nyeleneh bin ngawur pun rela ditempuh. Ambroncius hanyalah salah satu sosok pemburu sensasi. Maksud hati pamer taji, ternyata malah promosi ketololan.

Kaum yang sudah terhanyut oleh arus budaya sensasi cenderung kehilangan nalar dan hati. Mereka menjadikan sensasi sebagai salah satu, boleh jadi satu-satunya, parameter ketenaran dan keberhasilan. Begitulah jika otak sudah koplak, tahi kucing pun disangka nastar.

Dampaknya sangat fatal. Lantaran gairah berlebihan untuk menuai retwit dan like, seseorang di Twitter (juga di medsos lain) bisa kehilangan kesalehan sosial. Rasa empati dan simpati tergerus habis. Lambat laun mereka merusak diri sendiri sehingga menderita kedangkalan spiritualitas dan kecetekan humanitas.

***

SEBERMULA dari merasa ras atau golongannya lebih unggul dibandingkan dengan orang dari ras atau golongan lain, seseorang bisa gegar budaya. Akibat merasa suku atau warna kulitnya lebih penting daripada orang dari suku atau dengan warna kulit lain, seseorang bisa terperangkap di labirin kedunguan.

Mengapa seseorang, sadar atau tidak, terjebak dalam perilaku rasial?

Pertama, kehilangan rasa aman dan nyaman. Lantaran merasa rasnya terusik, lantaran merasa golongannya tersudut, jadilah cemooan, risakan, atau olokan-olokan berlatar ras meluncur deras seperti laju motor dengan rem blong.

Kedua, kehabisan empati pada ras atau golongan lain. Orang yang tempurung kepalanya terisi rasialisme hanya dapat berempati kepada ras atau golongannya. Jikalau orang dari ras atau golongan melakukan sesuatu yang tidak pas dengan keinginan kolektif ras atau golongannya, ia mati-matian bertahan dengan cara menyerang ras atau golongan lain.

Ketiga, kekurangan rasa cinta. Orang dengan mulut dan jari yang rasial hanya mencintai apa saja yang berasal dari rasnya. Apabila berhadapan dengan ras berbeda, kemanusiaan dalam dirinya raib entah ke mana. Hatinya dijajah kebencian.

Oleh sebab itu, menjauhlah dari umat "orang dengan kecemasan rasial".

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun