Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Hantu di Mata Lema

3 Oktober 2020   06:09 Diperbarui: 18 Oktober 2020   11:06 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hantu dan kekaguman atas alam semesta? Ya. Hantu hadir sebagai wujud ketakjuban manusia akan kuasa Ilahi. Ada alam gaib, ada alam nyata. Ada yang terlihat, ada yang tak kasamata. Siapa yang pernah melihat hantu suluh? Tidak ada. Sama seperti kita tidak pernah melihat hantu air.

Kedua, kata Lema seolah-olah bisa menebak sesuatu yang tengah kupikirkan, fungsi kosmologis. Aku paham. Semasa kecil di Makassar, aku sering mendengar penjelasan orang-orang tua tentang filosofi rumah panggung. Itu berkaitan dengan tiga alam, sebagaimana rumah dengan tiga tingkatan.

Kolong sama dengan alam bawah tempat orang-orang yang telah mangkat meneruskan hidup. Ruang tengah seperti alam tengah yang ditempati manusia, hewan, dan tumbuhan. Pammakkang (langkan) sebagai alam atas tempat Yang Mahatahu mengatur alam semesta.

Ketiga, fungsi sosilogis. Dahulu kala, berdasarkan Lontarak yang pernah kubaca, hantu diciptakan oleh para leluhur untuk menjaga alam. Hantu alas agar kita tidak sembarangan masuk hutan dan merusak isinya. Hantu api agar kita tidak serampangan membakar sesuatu yang dapat membahayakan alam.

Betul, seru Lema sambil bertepuk tangan. Beringin tumbuh rimbun karena orang-orang dulu percaya bahwa di sanalah hantu membangun kerajaan. Beringin dibiarkan, sumber air terjaga. Sekarang tidak. Beringin ditebang sesuka hati. Sumber mata air sukar ditemukan, sebab alat peresap tinggal nama.

Keempat, fungsi pedagogis. Sebagai yang dilengkapi Tuhan dengan akal budi, manusia memang kerap merasa lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Tidak heran jika manusia kerap pinjam nama setan dan sanak saudaranya.

Lahirlah anggaran siluman, biaya siluman, dan uang siluman. Kembar tiga yang sama-sama sulit ditakar dan dipertanggungjawabkan. Ada pula dana siluman dan tangan siluman. Dua-duanya berarti tindakan jahat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Suap-menyuap, misalnya.

Kamu betul, teriak Lema begitu girang. Senang benar rupanya. Berseri-seri mukanya. Ia bawa aku pada pemikiran tentang hantu. 

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Kepalaku mulai memisahkan para hantu. Ada yang profan, ada yang sakral. Hantu profan gemar menggoda, mengusili, menakut-nakuti, dan menyakiti manusia. Hantu sakral tidak begitu. Ia muncul begitu saja, sesekali menampakkan diri, bahkan membantu manusia.

Pada barisan hantu profan berdirilah bajang, begu, demit, dedemit, drakula, hantu angin, hantu denah, iblis, jin, kuyang, pejajaran, setan, dan lain-lain. Pada jajaran hantu sakral tegaklah aru-aru, balung, hantu air, hantu api, hantu jembalang, peri, puaka, dan lain-lain.

Oleh sebab itu, Kawan, hantu menjadi instrumen untuk menyampaikan ide, pikiran, dan aktivitas mental manusia. Manusia menciptakan hantu di kepalanya sehingga hadir citra sesuatu atau hal yang tidak mengenakkan, memicu perasaan tidak nyaman, melecut rasa takut, bahkan menyatakan harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun