Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Korona dan 4 Nama Pena Keren

28 September 2020   13:53 Diperbarui: 28 September 2020   16:45 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benar kata orang-orang. Korona bisa menghentikan apa saja, kecuali Pilkada. Jangankan sekolah dan kantor, ibadah kepada Tuhan saja bisa korona hentikan. Jangankan pasar, mal saja tutup. Namun, kehebatan korona runtuh di hadapan Pilkada Serentak 2020.

Empat Sekawan dengan empat karakter berbeda tengah serius memelototi televisi. Saya takjub melihat mereka. Dalam segala hal menunjukkan ciri-ciri yang bertolak belakang, tetapi keakuran mereka sungguh mengagumkan.

Warga Dukuh Bunga Cita mudah ditebak. Iman, misalnya. Adiknya meninggal setelah terpapar korona. Tanpa gejala, tahu-tahu tepar. Tiga hari di karantina, tahu-tahu mengembuskan napas terakhir.

Sewaktu adiknya meninggal, jangan coba-coba membicarakan Pilkada di depannya. Begitu selamatan tujuh harian berlalu, ia berubah haluan. Dulu tegas sekarang abu-abu. Andai saja Iman tampil ditelevisi, ia kira-kira mirip dengan Pak Ngabalin.

Kalau kamu mau bebas berbicara tentang Pilkada, silakan sesumbar di depan Amin. Ia pasti senang-senang saja. Itu karena dia manusia super. Diminta perbaiki genting bisa, disuruh gali parit bisa, diupah menandur di sawah juga bisa. Ia tipe orang seperti Pak Luhut, jadi menteri apa saja bisa.

Kota Sukaduka Kolektiva harus punya Wali Kota dan Wakil Wali Kota baru. Begitu seruan Gubernur di televisi. Masyarakat berteriak di mana-mana. Opini di surat kabar penuh dengan permintaan penundaan. Tagar penolakan ganti-berganti di media sosial.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi

Hanya saja, Gubernur dan seluruh jajaran tampaknya sudah mengganti telinga mereka dengan kuping kuali. Pekak. Takpeka. Dua organisasi keagamaan terbesar di Kota Sukaduka juga menyerukan agar Pilkada ditunda. Percuma. Tiada guna. Kuping kuali sudah membatu.

Mata Iman dan Amin terpacak di layar televisi. Baru saja Gubernur diwawancarai. Katanya, ada paslon di kabupaten tetangga yang sempat ditengarai positif korona dan hari ini dinyatakan negatif. Iman curiga. Jangan-jangan alat tes usap punya saku yang menghadap ke atas. Artinya, amplop bisa disuapkan ke saku itu.

Kamu tahu, tilikan pelanggan warkop berbeda kelas dengan amatan komentator di televisi. Kritikan Imun di warkop Kang Mamat ibarat panggang dan api dibanding kritikan Pak Fahri di televisi. Padahal, Imun juga pernah menerima Anugerah Warga Naratama Kota Sukaduka.

Lain lagi dengan Muin. Ia tipe bendera. Ke mana angin bertiup ke sana dia berkibar. Peragu. Saat Iman bilang pilkada harus ditunda, ia kepalkan tangan. Ketika Amin mengatakan pilkada diteruskan saja, ia kepalkan tangan. Gelarnya saja Manusia Paling Plinplan Abad Ini. Di dalam setuju, di luar berontak.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Telingkah mereka terhenti manakala Kang Mamat datang bersama empat gelas kopi. Itu kode keras. Kang Mamat ingin memastikan agar para pelanggan tahu bahwa ini kedai kopi, bukan warung gibah. Empat Sekawan melongo. Saya terkikik-kikik.

Semua mata sontak terpaku ke wajah saya. Mereka seolah-olah berkata "kenapa kamu tertawa", sejurus kemudian berkata "tidak ada yang lucu". Akan tetapi, saya penganut paham masa bodoh. Situ marah, silakan. Situ tersinggung, silakan. Saya tidak mau dan tidak mampu mengatur-atur perasaan orang lain.

Meski begitu, saya juga makmum filsafat mana tahan. Melihat orang menatap saya dengan mulut terbabang lebar-lebar, lidah saya gatal-gatal. Maka mulailah terlontar ketakpercayaan saya kepada Pemerintah dalam hal menjaga protokol kesehatan sebelum, selama, dan setelah pilkada. Pemerintah gagap, Paslon ngoyo, masyarakat ngeyel. Terang saja korona senang.

Lihat, kata saya, belum apa-apa paslon sudah melanggar. Deklarasi Paslon Benar (Besut-Onar) di Lapangan Ikada (Ini Kota Sukaduka) penuh kerumunan massa. Paslon Yakin (Yakan Saja-Kisanak) malah pesan dangdutan sehingga warga mabuk kepayang berjoget hingga petang. Polisi? Berjoget juga alih-alih membubarkan kerumunan.

Mata Amin seperti ingin meloncat ke luar dari pelupuk, mulutnya melebar seperti ingin membantah, tetapi saya enggan memberikan podium. Saya ungkap juga perkara keteladanan. Selaku putra seorang Petahana, Besut Angan Wardana mestinya memberi contoh. Ternyata tidak.

Calon wakilnya juga begitu, kata saya lagi. Dinasti Onar, putra sulung seorang diplomat ulung, setali tiga uang dengan Besut. Beberapa kali kedapatan Bawaslu menggelar Temu Tatap di gedung-gedung megah. Aturan menjaga jarak dilanggar, apalagi memakai masker. Protokol Kesehatan? Omong kosong jadinya karena dilanggar melulu.

Iman, Amin, Imun, dan Muin mulai terlihat jengah. Saya masa bodoh, mereka mana tahan. Bicaralah berdasarkan data. Saya paham adagium itu. Saya bentangkan data tentang 45% warga dukuh yang meminta pilkada ditunda, 30% yang ragu-ragu, 20% yang berharap diteruskan, dan 5% yang abstain.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Empat sekawan berbeda karakter itu berdiri, mendengus, menatap saya seperti ingin menelan tubuh saya dalam sekali teguk, lalu meninggalkan warkop. Kang Mamat buru-buru menaruh perabotan yang baru kelar ia cuci, berteriak-teriak karena kopi belum dibayar, tetapi empat motor sudah melaju.

Nanti saya yang bayar, Kang Mamat. Perantau dari Kabupaten Tahu Gurih itu mengangguk walau kilat ragu sempat membersit di matanya. Bukan apa-apa. Kasbon saya sudah menumpuk. Tetapi, beliau memang saudagar kopi yang budiman. Beliau tahu motivator gretongan ini sedang sepi order.

Kang Mamat duduk di depan saya. Pelan-pelan ia berkata, "Saya mau bikin akun fesbuk, Daeng, tapi menyamar. Ndak pakai nama asli." Ia berhenti sejenak sambil menarik napas. "Saya mau membantah empat makhluk itu di Grup Sukaduka Berpolitik. Bisa kasih nama samaran?"

Mata saya berkilat-kilat. Permintaan Kang Mamat kontan saya penuhi. 

Pertama, kata saya, Rivalitas Etikana. Panggilannya Rival. Artinya lawan. Apa pun status atau unggahan Kang Mamat, isinya pasti memuat seruan agar pendukung yang mati-matian membela paslon tidak saling menghina. Intinya, etika politik itu panglima.

Kedua, Rekayasa Sanubari. Panggilannya Reka. Artinya susun, atur, atau tata. Maknanya, apa pun yang Kang Mamat sampaikan di grup selalu berupa ajakan agar orang-orang bersaing tanpa menjauhi kata hati. Berbeda pendapat boleh asalkan tidak tukar-menukar caci maki.

Ketiga, Rabotase Bestari. Panggilannya Rabi. Artinya, selalu "mengingat Tuhan" dalam berkampanye. Rabotase sendiri berarti menggaruk permukaan secara hati-hati. Kang Mamat memelopori cara menyampaikan keunggulan paslon pilihan dengan hati-hati, bijak bestari, dan sarat nilai ilahiah.

Keempat, Rukunara Sentosa. Rukun itu damai, sedangkan nara itu orang. Artinya persaingan politik harus diletakkan di atas nilai-nilai kemanusiaan dan kerukunan. Jika orang-orang berangkat dari semangat rukun, saya yakin kita semua akan sentosa.

"Kopi lunas, Daeng," kata Kang Mamat sambil tersenyum lebar. "Empat nama akan saya pakai semua. Saya akan bikin empat akun. Semua akun asli." Tawanya mulai kencang. "Saya sekarang punya empat nama pena yang keren!"

Saya tersentak. Nama pena? Apakah membuat status di fesbuk termasuk mengarang?

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Catatan: Seluruh nama orang dan tempat dalam artikel ini fiktif belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun