Selepas membongkar borok bos-bos PT Pertamina (Persero), Ahok mengaku dipanggil oleh Erick Thohir. Ahok memang sedang berupaya bersih-bersih di perusahaan pelat merah itu. Ia tidak gentar bersuara lantang untuk menyingkap "tabir hitam" Pertamina. Tidak heran jika banyak pihak yang merasa gerah melihat aksi mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Seusai pertemuan, Ahok mengunggah fotonya bersama Pak Menteri di Instagram. Dalam keterangan unggahan foto di Instagram itu beliau cantumkan dua pesan Menteri BUMN, yakni menjaga supaya kerja sama tim tetap solid dan terus melakukan transformasi. Adapun kritik dan saran yang ia sampaikan kepada Erick tidak beliau beberkan secara gamblang.
Kabar pemanggilan Ahok sontak menjadi santapan pemburu berita, baik media konvensional maupun digital. Beberapa jurnalis bahkan memilih pemanggilan Ahok sebagai judul kabar. Jurnalis di media daring tentu saja lebih cepat menyebar kabar kepada pembaca dibanding media massa biasa.
Wartawan media daring memang dituntut agar siaga penuh mengejar kabar. Mereka dipepet oleh tenggat dan dipapas oleh pesaing. Tidak heran jika mereka sering tergesa-gesa mengunggah berita di portal. Maklum saja, satu klik sangat berharga bagi kinerja dan dapur mereka.
Lantaran tergesa-gesa, jurnalis dan editor kerap salah kaprah dalam menaja judul berita. Kadang judul berita ditata persis seperti bahasa di kedai kopi. Kaidah bahasa tak segan-segan dilanggar, malahan ada yang seakan-akan sengaja melanggar. Itulah yang akan saya udar dalam artikel ini.
Berikut saya babar satu contoh penjudulan yang unik sekaligus taksa.
Begini, Sobat. Jika kesalahan ringan dalam berbahasa terus dibiarkan maka kita akan terbiasa. Kalau sudah terbiasa, kekeliruan bisa-bisa tidak kita anggap sebagai kesalahan lagi. Alah bisa karena biasa. Jurnalis, termasuk penulis, sering terlalu hitung-hitungan sehingga kerapmain pangkas.
Kebiasaan main pangkas tanpa ampun itulah yang kerap mengawali kesalahan berbahasa. Terlihat receh, tetapi begitulah faktanya. Menyunting perlu kehati-hatian. Kalau tidak, hasilnya bisa mengubah konteks kalimat.
Berikut saya bentangkan empat penyebab mengapa kita, bukan cuma wartawan, sering keliru dalam berbahasa Indonesia.
Berbeda urusannya jika "Ahok dipanggil Erick Thohir" terpajang di media. Kenapa? Karena hal itu dapat memicu ambigu. Sekarang begini. Idham Azis menolak dipanggil Presiden. Ngeyel amat itu Pak Idham, dipanggil Presiden malah menolak. Lo, itu tidak keliru. Idham Azis itu Kapolri. Tidak elok jika beliau dipanggil Presiden. Begitu pula dengan Ahok. Panggilannya Ahok, bukan Erick.
Sekilas terlihat itu kelakar receh, padahal bukan. Sekali lagi, bahasa tulisan berbeda dengan bahasa lisan. Ahok Dipanggil Erick Thohir. Hei, Sobat, portal kabar bukan kedai kopi. Bolehlah kata "menjadi" dipotong sehingga tersisa "jadi". Itu masih bisa dipahami. Hitung-hitung hemat kata biar dapat tangkal kaya. Namun, membuang konjungsi tidak bisa asal-asalan.
Erick Thohir Memanggil Ahok. Bisa saja judul diubah seperti itu, tetapi topik kabar ikut berubah. Ahok Dipanggil oleh Erick Thohir. Nah, itu baru tepat. Kata Ivan Lanin, pemengaruh kebahasaan di Twitter, gara-gara melesapkan konjungsi oleh jadilah banyak orang yang keliru dalam memaknai judul berita itu. Â
Sepele, kan? Ya. Justru karena sepele sehingga banyak penutur bahasa Indonesia yang menganggap remeh perkara demikian. Padahal, kata oleh mustahil memakan ruang terlalu banyak. Jumlahnya cuma empat huruf. Hanya saja, makna kalimat menjadi taksa tatkala oleh dibuang.
Sekarang mari kita lihat apa saja definisi oleh.
Selain itu, oleh juga menunjukkan 'sebab atau karena'. Cintaku kepadamu tidak lecek oleh curiga dan tidak lecet oleh cemburu. Itu contoh penggunaannya. Malahan, oleh juga berarti 'bagi atau untuk'. Kepulanganmu menjadi pengobat sendu olehku. Itu contoh penggunaan oleh yang bermakna bagi atau untuk.
Bagaimana dengan Ahok? Sekalipun judul berita tersebut mengandung taksa atau tafsir ganda, Ahok memang sudah memenuhi panggilan Erick. Setelah kicauan Ahok membuat banyak pihak tertohok, beliau tentu siap bertanggung jawab atas pernyataan yang telah ia lontarkan. Celoteh Ahok memang menyulut kesiap bagi yang tersedut, tetapi memantik riang bagi yang menginginkan perubahan di tubuh Pertamina.Â
Kita kembali dulu pada kata dipanggil tanpa diikuti kata oleh. Nama setiap orang itu bermakna. Ada arti dan doa yang melekat pada nama tiap orang. Saya jelas tidak mau dipanggil David atau Wuri. Ogah. Bukan karena David atau Wuri kurang keren, bukan. Bukan lantaran David atau Wuri lemah makna, bukan. Alasan saya cuma satu: Itu bukan nama saya.
Semasa remaja saja saya enggan dipanggil sayang. Bukan apa-apa. Gadis yang kala itu saya taksir berkata seperti ini: Sayang sekali kau terlalu baik bagiku. Uh!
Salam takzim, Khrisna Pabichara