Kadang saat menemani mantan Kepala Kelurahan Manjangloe (2003---2004) itu ada-ada saja pengalaman lucu. Tertidur di motor sampai sama-sama bangun karena mendarat di selokan. Motor mati mendadak di daerah angker. Kehabisan bensin pukul dua dinihari di antara dua kampung yang berjauhan. Macam-macam.
Empat tahun lalu saat pulang kampung saya sempat berkata agak keras kepada beliau. Bukan apa-apa. Beliau kepanasan di kebun dan jatuh pingsan. "Bapak itu sudah tua," ujar saya. Beliau tersenyum, "Jangan marah, Nak, Bapak tidak pernah marah kepadamu." Saya menangis saat itu.
Dua tahun lalu ketika pulang kampung saya sewot lagi. Saya mendengar kabar beliau sering tidur di kandang ayam. Saya ngomel-ngomel. "Kasihan Mama Aja, sudah tua malah dimadu dengan ayam," gerutu saya.
Istrinya, Hajrah Paseway, sama gilanya dengan beliau dalam perkara berorganisasi. Kadang tidak ada apa-apa di rumah pun beliau usahakan ada demi memuliakan tamu.
Yang Meminta Tanpa Menuntut
Jangan bilang semua orang kuat dan tangguh di hadapan Kehilangan. Di hadapan Kehilangan, saya hanyalah pemurung yang lupa cara tertawa.
Sebulan sebelum beliau wafat, dengan suara terbata-bata beliau meminta saya untuk menulis buku tentang beliau. Buku apa saja. Terserah saya. Saat itu tubuhnya sudah digerogoti kanker dan rumah sakit rata-rata menolak karena sibuk mengurus pasien korona.
Setiap mengobrol dengan beliau saya selalu gagal membendung air mata. Kata-kata mendadak hilang. Tenggorokan seketika kering. "Tegasakki, Bapak!" Hanya dua kata itu yang mampu saya ucapkan. Jika diterjemahkan secara bebas, dalam bahasa Indonesia berarti "ayolah yang kuat".
Dua hari sebelum beliau mengembuskan napas terakhir, beliau mencari-cari saya. Lewat Arung, adik bungsu saya. Lewat Sindy, keponakan saya. Lewat Amin, putra beliau. Tidak ada satu kata pun yang beliau ucapkan kepada saya. Hanya mata beliau yang seolah-olah berkata "saya pamit, Nak" dan tanggul air mata saya kembali jebol.
Semenjak luka kunamai doa, aku tahu kehilangan tak lagi butuh air mata.
Selamat jalan, Paseway Punda. Bapak tidak pernah pergi karena Bapak selalu abadi dalam hati saya. [kp]