Gelombang pilpres sudah surut, tetapi badai hoaks belum juga reda. Perancang hoaks seolah-olah tidak ada matinya. Otak perancang hoaks bagaikan sumur ide yang tidak pernah ditimpa kemarau inspirasi.
Hoaks terbaru yang menyelusup lewat Grup WA dan menyelinap melalui media sosial adalah kabar tentang rapat Pak Jokowi-Amin bersama elite partai koalisi. Risalah rapat beredar ke mana-mana.
Risalah tersebut berhias susunan Kabinet Kerja II.Â
Susunannya lengkap dan tampak seolah-olah benar adanya. Nama tokoh politik dan profesional yang secara terang benderang ataupun samar-samar mendukung Pak Jokowi tertera di dalam risalah tersebut. Sepintas tampak sangat meyakinkan karena risalah itu dibumbui Garuda Pancasila sebagai kop.Â
Padahal, risalah rapat itu hoaks. Ada dua alasan mengapa risalah tersebut saya tengarai hoaks. Pertama, rasa-rasanya muskil Pak Jokowi menyusun kabinet sebelum beliau dilantik. Kedua, rasa-rasanya mustahil Pak Jokowi mengumbar hak prerogatifnya dalam memilih pembantu lewat rapat secara sedemikian terbuka.
Menyoal Niat Perancang Hoaks
Tentu saja ada niat terselubung di batok kepala si perancang hoaks. Dan, apa pun niat terselubung itu pasti memengaruhi cuaca sejuk yang mulai berembus. Jelas ada pihak yang tidak setuju apabila Pak Jokowi dan Pak Prabowo bersalaman. Pihak seperti ini memang senang atau tidak tenang kalau tidak menikmati keributan.Â
Lebih dari itu, si perancang berambisi meretakkan keharmonisan di dalam kubu pendukung Jokowi-Amin. Setelah kisruh di kubu pendukung Pak Prabowo, giliran kubu Pak Jokowi yang akan diacak-acak. Lumayan bagi mereka jika terjadi cekcok gara-gara "kursi menteri".
Bagaimanapun, memahami kabar burung dengan wajah dan karakternya yang khas tentu saja perlu dilakukan secara mendalam. Risalah tersebut adalah sebuah ikhtiar mengacak-acak ketenangan sehingga harus ditelaah dengan tenang.Â
Di samping itu, penting perspektif yang luas dalam mencandra kabar miring yang kompleks dan sarat muatan politis agar kita tidak terjebak pada pandangan, pendapat, simpulan, dan sikap yang kerdil.
Dengan demikian, risalah tersebut tidak perlu ditanggapi reaktif. Baik oleh pendukung Pak Jokowi maupun barisan pembenci beliau. Tidak perlu analisis multifaktor, multiaspek, dan multiperspektif untuk menyikapi risalah itu. Cukup dengan pandangan yang sederhana dan linier.
Anggap saja risalah itu seperti kelakar yang tidak lucu. Atau, semacam aksi orang kurang kerjaan yang tengah menyibukkan diri agar tidak dicekik oleh rasa kesepiannya sendiri. Singkat kata, santai saja. Semakin ditanggapi serius semakin senang hati si perancang hoaks.Â
Di sisi lain, nama-nama yang tertera di dalam risalah tersebut ikut terpapar risi. Tidak semua orang suka namanya dipajang-pajang atau disodor-sodorkan. Meski begitu, penting pula memberi catatan kritis atas risalah hoaks tersebut, lebih-lebih manakala akhir-akhir ini gelombang ketaksukaan, baik kepada Jokowi maupun Prabowo, mencuat ke permukaan.
Keindonesiaan KitaÂ
Patut diingat, kampanye hitam yang menunjukkan sikap pesimistis terhadap bangsa kita berlangsung sangat lama. Retorika yang menggaung justru kata-kata yang melemahkan dan melelahkan: Indonesia bubar, ancaman radikalisme, hasrat referendum, hingga Indonesia dikangkangi oleh asing dan aseng.Â
Dampaknya dahsyat. Pemikiran kritis sebagian di antara kita kiab menipis. Semua perkara ditelan mentah-mentah sekalipun kita sangsi apakah perkara itu benar atau keliru. Doktrin dan dogma kelompok dianggap selalu benar, lantas buru-buru menutup diri atas kebenaran dari kelompok seberang.
Celakanya, kebenaran subjektif itu acapkali dikumandangkan atas nama keyakinan agama. Maka muncullah "kami selalu benar" atau "yang lain pasti salah". Ajaibnya, orang-orang yang terbiasa berpikir kritis, yang sudah banyak "makan bangku sekolah", dan yang kerap mengecap diri berpikiran modern, justru ikut-ikutan taklid buta.
Kebenaran subjektif yang dibangun di atas fondasi prasangka akhirnya dipercayai secara mutlak. Jadilah taklid buta. Opini nyinyir dan apriori nyenyeh dijadikan penghias kebenaran subjektif itu. Dan, atapnya dikonstruksi dari data bias yang tafsirnya disetir atau disitir sesuai kepentingan.
Sementara itu, pengaruh kebenaran objektif sangat lemah karena dikalahkan oleh argumen emosional dan kepercayaan personal. Akibatnya fatal. Virus pembodohan merajalela. Masyarakat dengan mudah terpapar hoaks. Hujatan berhamburan di ruang publik, makian berserakan di media sosial.
Maka dari itu, semangat kebangsaan kita harus ditinjau ulang. Semua pihak mesti tafakur dan bermuhasabah, mengambil cermin dan menyelam ke dalam hati, kemudian mempertanyakan apakah kita masih sudi mempertahankan keindonesiaan kita atau kita ingin melihat Indonesia terjun bebas ke jurang kehancuran.
Jika dalam laku muhasabah itu kita masih yakin akan keindonesiaan kita, mari berhenti menebar dan menyebar kabar miring, gosip murahan, atau hoaks. Kita hentikan segala-gala yang dapat mencabik-cabik keindonesiaan kita.
Politik Cara Manusia
Menilik dampak akibat sebaran masif risalah bodong tersebut, terutama jika dipautkan dengan keindonesiaan kita, maka si perancang risalah dapat dinilai sudah menghalalkan segala cara. Pada bab XVIII dalam "Il Principe", Machiavelli menulis seperti ini.
Anda hendaknya tahu bahwa ada dua cara berjuang, yakni melalui hukum atau melalui kekerasan. Cara pertama merupakan cara yang wajar bagi manusia dan yang kedua adalah cara bagi binatang.Â
Akan tetapi, karena cara pertama kerap kali terbukti tidak memadai, orang lalu menggunakan cara kedua. Dengan demikian, seorang raja harus tahu bagaimana menggunakan dengan baik cara-cara binatang dan manusia.
Apakah para perancang hoaks, termasuk hoaks risalah dan hoaks-hoaks sebelumnya, menggunakan cara manusia atau binatang dalam memenuhi syahwat politik atau gairah terselubung mereka? Entahlah.Â
Setidaknya kita mesti membentengi diri masing-masing agar tidak rawan dan rentan terhadap serangan hoaks. Sebab, tentu kita tidak ingin keindonesiaan kita ternoda gara-gara hoaks. Termasuk gara-gara hoaks risalah kabinet Pak Jokowi. []