Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kampanye, Jual Diri, dan Anugerah Kompasiana 2018

23 Oktober 2018   17:52 Diperbarui: 24 Oktober 2018   23:53 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang terlintas di benak kalian setiap membaca atau mendengar kata kampanye? 

Saya ajukan pertanyaan itu kepada teman-teman di Twitter. Jawabannya beragam. Ada yang mengatakan bahwa kampanye itu upaya keras untuk menggalang dukungan. Ada yang menyebut kampanye sebagai pesta umbar janji. Bahkan ada yang sangat nyelekit. Katanya, kampanye tidak lebih dari upaya jual diri. 

Seluruh jawaban kompak mengarah pada Pemilu. Ini bisa dimaklumi. Kita dihadapkan dengan riuhnya kabar di media sosial dan media massa sekutat Pilpres dan Pileg. Dengan begitu, kampanye identik banget dengan pesta demokrasi. 

Padahal, sebenarnya makna kampanye bisa diluaskan atau dikembangkan. 

Ibu Susi Pudjiastuti menganjurkan warga Indonesia untuk mengonsumsi ikan juga bisa disebut kampanye. Ibu Sri Mulyani mengimbau publik agar bijak dan taat pajak dapat pula dinamai kampanye. Khrisna Pabichara getol menganjurkan cerdas berbahasa Indonesia boleh saja disebut kampanye.

Akan tetapi, nasib kata memang tergantung pengguna. Ingatlah kata bau. Semula kata itu ditujukan pada segala aroma yang terhidu oleh cuping hidung. Mau harum mau busuk, mau wangi mau tengik, semuanya disebut bau. Sekarang tidak begitu. Setiap ada yang berseru "bau", orang-orang serentak menutup hidung. Padahal, bau parfum. 

Nasib kata kadang seperih harapan: misterius dan tidak tertebak. Lihat saja kata jomlo. Semula kata ini khusus bagi gadis tua yang masih sendiri alias belum menikah. Sekarang tidak begitu. Cewek dan cowok, asalkan masih sendirian, pasti dilabeli jomlo. Bukan hanya itu. Yang sudah menikah saja disebut jomlo bila sedang berjauhan dengan pasangannya. Pendek kata, sendirian itu jomlo. 

Nasib kata sesekali sepedih saat kita menahan linu di hati gara-gara curiga atau cemburu. Lihat saja nasib kata emosi. Kalau bini sedang marah baru disebut emosi. Padahal, emosi itu kondisi batin. Mau kesal mau senang, mau kecewa mau marah, semuanya bagian dari emosi. Bentuknya bisa menonjok tembok kalau marah atau berderai air mata bila tengah berduka. 

Nah, di sinilah kegalauan saya bermula.

Adalah Pringadi Abdi Surya pangkal soalnya. Ia kabarkan bahwa saya terpilih sebagai calon penerima Anugerah Kompasiana 2018. Sontak saya kaget. Bahkan sempat terperanjat. Bukan apa-apa. Saya merasa tidak layak dicalonkan. Meskipun telah aktif menulis di Kompasiana sejak 2016, baru setahun belakangan ini saya rutin menulis. Bagi saya, banyak yang lebih layak diunggulkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun