Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Salam Kenal dari Si Gagal, Garuda Muda

25 Agustus 2018   00:49 Diperbarui: 25 Agustus 2018   09:33 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang memenuhi stadion. Orang-orang bernyanyi-nyanyi. Orang-orang merindukan prestasi. Semua memburu satu kata: sukses.

Kata itu, jika ditilik dari kehidupan sehari-hari, lazim ditandai dengan rumah megah, uang meruah, mobil mewah, dan takaran lain yang ditisik dari harta belaka. Apabila ditinjau dari sudut kompetisi, biasanya kata sukses ditandai dengan piala, medali, atau gelar juara.

Orang-orang membenci kata gagal, kesulitan, jalan buntu, apalagi jatuh pailit. Mereka hanya tahu satu kata: sukses. Kepala mereka dipenuhi kalimat "akan kubuktikan bahwa aku mampu". Mereka benar-benar militan dalam memburu sukses, namun cengeng tatkala gagal memeluk sukses.

Sebagian dari yang gagal itu mengusir Si Putus Asa dari pikiran dan perasaan mereka, menyadari dan memahami bahwa semua hal butuh proses, maklum bahwa jatuh sekali--bahkan berkali-kali--tidak akan mematahkan semangat. Sebagian lagi mengurung diri di kamar, diam-diam membasahi bantalnya dengan air mata, mengutuk nasibnya yang dianggapnya tidak seberuntung orang lain, merutuk orang lain sebagai kambing hitam, bahkan menyangka Tuhan tidak adil kepadanya.

Orang-orang pada bagian terakhir di atas, yang meraung-raung bersama Si Gagal, adalah generasi instan. Maunya langsung memeluk Si Sukses dan enggan bersalaman dengan Si Gagal. Mereka hanya mengenal buah dan tidak tahu dari mana, mengapa, serta bagaimana buah berada di hadapannya.


Babak perdelapan final sudah kelar. Indonesia kalah, tetapi Garuda Muda tidak babak belur.

Tribunnews.com
Tribunnews.com
Timnas Indonesia U-23 baru saja berpelukan dengan Si Gagal. Bagi suporter yang hanya mengenal kata menang, kekalahan tersebut akan dijadikan bahan ejekan, cibiran, atau umpatan. Mereka tidak peduli pada perjuangan pemain di atas lapangan. Kalah berarti mati. Hanya itu.

Bagi pendukung yang hati mereka dipenuhi cinta, kekalahan bukan akhir dari segalanya. Mereka tetap mencintai timnas karena peduli pada militansi, semangat pantang menyerah, dan perjuangan pemain hingga babak tos-tosan yang dimenangi tim lawan.

Ada pula golongan pendukung yang mencari kambing hitam. Wasit dituding berat sebelah. Pemain lawan terlalu pandai bersandiwara. Kiper musuh pintar mengulur-ulur waktu. Dan, tentu saja, penalti kedua akan disorot sebagai sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Dalam upaya mengejar prestasi, medali tentu jawaban atas dahaga kita pada prestasi timnas. Itu lumrah. Sangat manusiawi. Hanya saja, kita harus mengacungkan jempol dan bertepuk bangga melihat agresivitas pemain. Apalagi menyangkut semangat juang. Garuda Muda sudah memberikan segalanya, kecuali gelar juara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun