Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mabuk Gawai Mabuk Tinta

9 Juni 2018   17:17 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:41 2756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay/Free-Photos)

Apa pun media yang dipakai untuk menulis, namanya tetap penulis.

Alexandre Dumas (1802-1870), novelis legendaris Prancis, konon tetap menulis di kertas meskipun mesin tik sudah ditemukan menjelang akhir hayatnya. Fyodor Dostoevsky (1821-1881), pengarang Rusia terkemuka, tetap setia menulis tangan dibanding mengetik potongan gagasan-gagasannya. Padahal temuan mesin tik dan mesin cetak makin canggih.

dokpri
dokpri
Kertas versus Mesin Tik

Setidaknya ada tiga alasan mengapa menulis di kertas lebih dipilih banyak penulis dibanding mengetik.

Pertama, bau tinta dan aroma kertas. Saya termasuk penulis konservatif. Mirip Dumas atau Dostoevsky. Maksud saya, mirip dalam hal kebiasaan menulis di kertas. Bukan apa-apa. Saya menemukan aroma tinta dan bau kertas yang khas jika menulis di kertas. Seperti khasnya aroma tanah basah disiram hujan pertama setelah kemarau panjang.

Kedua, lebih mudah dibawa ke mana-mana. Semasa remaja, saya doyan banget menulis catatan harian. Apa saja saya catat. Gadis yang memikat hati namun tak bisa didekati, guru matematika yang galaknya luar biasa, perjalanan ke sekolah yang menguras keringat dan tenaga. Semuanya. Itu sebabnya saya lebih suka menulis di kertas, karena ide juga sering muncul tak disangka-sangka.

Ketiga, lebih mudah dan tidak ribet. Kalau ada kata atau kalimat yang keliru, saya tinggal main coret. Itu kalau menulis di kertas. Beda dengan mesin tik. Kalau salahnya masih sedikit, type-ex masih bisa beraksi. Tetapi kalau kesalahannya sudah satu paragraf terpaksa ganti kertas. Dan, itu ribet sekaligus menyebalkan.

Meski begitu, tulisan yang saya hajatkan akan dikirim ke koran atau majalah, mau tidak mau mesti diketik. Tidak semua redaktur tabah membaca tulisan tangan. Apalagi tulisan tangan yang acakadul dan mirip cakar ayam. 

Jika sudah demikian, biasanya saya konsep dulu dengan tulisan tangan. Baru kemudian diketik. Jadi tidak terlalu banyak kesalahan. Selain itu, saya menemukan cinta baru yang tidak saya dapati pada kertas dan tinta. Irama tuts mesin tik. Seperti nada baris-baris hujan menerpa atap.

Kebiasaan menulis di kertas tetap saya rawat, meski komputer dan ponsel semakin keren.

Kertas versus Gawai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun