Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mabuk Gawai Mabuk Tinta

9 Juni 2018   17:17 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:41 2756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay/Free-Photos)

"Sebelum Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada 1440-an, kebanyakan informasi  disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan. Epos, mitos, dan dongeng dalam semua kebudayaan kuno disampaikan melalui tradisi lisan."

Hernowo, Quantum Reading 

Tradisi lisan dan budaya tulis juga berkembang di Nusantara. Pada tahun 1300 hingga 1500-an, sebuah karya sastra adiluhung ditulis di kawasan Bugis (sekarang Sulawesi Selatan). Pada mulanya memakai media bambu pipih dan daun lontar. Syahdan, sekitar 10.000 halaman epik berbahasa Bugis kuno dengan kira-kira 500.000 larik puisi ditulis dalam huruf lontara kuno, aksara Bugis-Makassar.

Mahakarya itu beredar secara lisan, dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Selain ditampilkan dalam bentuk massureq, tradisi sastra lisan, pada upacara-upacara adat, mahakarya itu juga didongengkan kakek-nenek kepada cucu-cucunya di rumah-rumah. Sayang, manuskrip yang terdiri dari 10.000 itu rusak karena digerus waktu.

Memasuki tahun 1800-an, seorang pendeta sekaligus cendekiawan dari Belanda, Matthes, mengumpulkan dan menyalin ulang mahakarya tersebut. Atas kerja samanya dengan Colliq Pujie, sastrawan Bugis, sekira 6000 halaman dan 300.000 larik puisi berhasil diselamatkan. 

Mahakarya itu sekarang kita kenal dengan nama Sureq I La Galigo. Karya sastra adiluhung itu bahkan diakui UNESCO sebagai salah satu Warisan Dunia.

Menulis dan Aroma Tinta

Sejarah mencatat, Cina-lah yang mengawali penemuan kertas dan tinta. Diperkirakan sekira tahun 170-an, ditandai dengan temuan peta yang ditulis di atas kertas berbahan serat kulit pohon, jerami, dan kain bekas. Tradisi kertas ini diserap oleh orang-orang Arab dan dibawa ke Bagdad. Dari Bagdad lantas menyebar ke Spanyol sewaktu khilafah Arab menguasai sebagian semenanjung Spanyol.

Begitulah riwayat singkat keberadaan kertas dan tinta. Bermula di negeri Cina hingga tiba sekarang ke hadapan kita. Tentu saja sudah mengalami perubahan dan perbaikan sesuai arus zaman. 

Mid-Day
Mid-Day
Mengapa dinamai penulis, bukan pengetik? Kita mesti mundur lagi ke ilustrasi di atas. Kertas dan tinta ditemukan pada abad ke-2. Mesin tik baru ditemukan pada tahun 1800-an. Bahkan mesin cetak lebih dulu ditemukan, sebagaimana tertera pada pembuka tulisan ini. Sederhananya begitu.

Maka, orang yang bekerja dengan menulis disebut penulis. Tetap dinamai demikian meskipun banyak penulis sudah bekerja menggunakan mesin tik, lalu komputer personal yang tidak bisa dibawa ke mana-mana, lalu komputer bimbit alias laptop yang enteng dijinjing ke mana saja, lalu ke gawai yang mudah dibawa bahkan ke dalam jamban.

Apa pun media yang dipakai untuk menulis, namanya tetap penulis.

Alexandre Dumas (1802-1870), novelis legendaris Prancis, konon tetap menulis di kertas meskipun mesin tik sudah ditemukan menjelang akhir hayatnya. Fyodor Dostoevsky (1821-1881), pengarang Rusia terkemuka, tetap setia menulis tangan dibanding mengetik potongan gagasan-gagasannya. Padahal temuan mesin tik dan mesin cetak makin canggih.

dokpri
dokpri
Kertas versus Mesin Tik

Setidaknya ada tiga alasan mengapa menulis di kertas lebih dipilih banyak penulis dibanding mengetik.

Pertama, bau tinta dan aroma kertas. Saya termasuk penulis konservatif. Mirip Dumas atau Dostoevsky. Maksud saya, mirip dalam hal kebiasaan menulis di kertas. Bukan apa-apa. Saya menemukan aroma tinta dan bau kertas yang khas jika menulis di kertas. Seperti khasnya aroma tanah basah disiram hujan pertama setelah kemarau panjang.

Kedua, lebih mudah dibawa ke mana-mana. Semasa remaja, saya doyan banget menulis catatan harian. Apa saja saya catat. Gadis yang memikat hati namun tak bisa didekati, guru matematika yang galaknya luar biasa, perjalanan ke sekolah yang menguras keringat dan tenaga. Semuanya. Itu sebabnya saya lebih suka menulis di kertas, karena ide juga sering muncul tak disangka-sangka.

Ketiga, lebih mudah dan tidak ribet. Kalau ada kata atau kalimat yang keliru, saya tinggal main coret. Itu kalau menulis di kertas. Beda dengan mesin tik. Kalau salahnya masih sedikit, type-ex masih bisa beraksi. Tetapi kalau kesalahannya sudah satu paragraf terpaksa ganti kertas. Dan, itu ribet sekaligus menyebalkan.

Meski begitu, tulisan yang saya hajatkan akan dikirim ke koran atau majalah, mau tidak mau mesti diketik. Tidak semua redaktur tabah membaca tulisan tangan. Apalagi tulisan tangan yang acakadul dan mirip cakar ayam. 

Jika sudah demikian, biasanya saya konsep dulu dengan tulisan tangan. Baru kemudian diketik. Jadi tidak terlalu banyak kesalahan. Selain itu, saya menemukan cinta baru yang tidak saya dapati pada kertas dan tinta. Irama tuts mesin tik. Seperti nada baris-baris hujan menerpa atap.

Kebiasaan menulis di kertas tetap saya rawat, meski komputer dan ponsel semakin keren.

Kertas versus Gawai

Pada akhir 1990-an, saya sudah bersentuhan dengan komputer. Program pengolah katanya belum semutakhir sekarang. Dulu harus menghafal perintah kontrol plus alias Ctrl+. Sekarang kian mudah dan sederhana. Sudah ada menu salin-tempel alias copy-paste. 

Akan tetapi, saya selalu rindu pada bau kertas dan aroma tinta. Malah hingga kini.

Setidaknya ada tiga kelebihan gawai dibanding mesin tik.

Pertama, enteng dan mudah dibawa ke mana-mana. Tidak seperti mesin tik atau komputer bimbit, gawai lebih ringan. Kita pasti merasa aneh bila membawa mesin tik ke kakus. Lebih aneh lagi kalau sampai mengetik saat berak. Komputer bimbit alias laptop juga begitu. Riskan. Bahaya kalau basah. Beda dengan gawai. Mudah dikantongi, ringan digenggam.

Kedua, gampang digunakan. Tidak seribet mesin tik yang harus memasukkan kertas, gawai tinggal pakai. Selama ada colokan, bisa langsung ditumpahkan. Kalaupun tak ada colokan, asalkan daya gawai terisi penuh, imajinasi bisa segera dituangkan. Ada kata atau kalimat salah juga tidak perlu ganti kertas.

Ketiga, aplikasi lebih memudahkan. Gawai sekarang bisa menggantikan fungsi laptop. Kalau ingin mengetik biasa, tinggal menginstal aplikasi Word. Banyak variannya. Cetak miring dan tebal pun mudah. Bahkan aplikasi pengolah gambar dan teks juga ada. Apa saja ada. Katakan saja selamat tinggal mesin tik. Betul, kan?

Bagaimana dengan menulis di kertas? Saya masih sekolot Dumas dan Dostoevsky. Masih suka bau kertas dan aroma tinta. Seperti selalu sukanya saya pada wangi tubuh dan aroma sabun mandi bini tercinta. Maka saya masih sering memakai cara purba: mengetik di kertas. Meskipun saya juga menggunakan cara kekinian: mengetik di gawai.

Begitulah saya. Makhluk purba yang kekinian. Penulis konvensional yang tidak digerus zaman.

Serangan Mabuk Gawai 

Saya yakin kalian akrab pada istilah phubbing. Atau setidaknya pernah membacanya. Istilah itu disematkan bagi mereka yang sepanjang hari berkutat dengan gawai. Nongkrong dengan teman-teman saja masih sibuk mengulik gawai. Ngobrol dengan bokap-nyokap pun tetap menekuri gawai.

Istilah dari bahasa Inggris itu berakar dari kata phone dan snubbing. Artinya, telepon dan sedang mabuk. 

Dalam bahasa Indonesia, kita bisa padankan dengan mabuk gawai. Kata ini rasanya mengerikan. Seperti minuman keras yang memabukkan, bisa membuat kita lupa diri. Seperti cemburu yang memabukkan, bisa membuat kita tidak sadar diri. 

Namun, suasana hati orang yang dimabuk gawai memang menakjubkan. Ada yang mengulik gawai sambil berjalan, seolah tidak takut disambar motor atau diseruduk mobil. Ada yang menekuri gawai saat menyetir mobil, seolah arah dan jalan sudah dikuasai. 

Mabuk gawai laksana dilena asmara. 

Saya juga begitu. Apalagi kalau sedang menulis. Meskipun saya selalu mencari tempat dan situasi yang aman buat menulis. Sebab menulis adalah ibadah intelektual bagi saya, tentu saja saya tidak asal-asalan. Sesekali memang menulis di kakus, tetapi biasanya sebatas kerangka.

Maka, tidak apa-apa jikalau saya dituding mabuk gawai alias phubbing. Sebagaimana saya tidak pernah marah dituduh mabuk kata atau mabuk tinta. Toh sama saja. Yang utama adalah tetap menulis. Bagaimanapun caranya atau apa pun medianya.

Andaikan saya tidak mabuk gawai dan mabuk tinta, Anda tidak akan mengunyah tulisan ini.

Iya, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun