Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Remba dan Tetangganya yang Boros Kata

2 Juni 2018   12:24 Diperbarui: 2 Juni 2018   23:17 1987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Matahari seolah tahu bahwa Remba sedang ingin menghangatkan rindu. Sudah seminggu ia tidak bisa menemui Tami. Kekasihnya itu sedang sibuk tugas praktik di sebuah Puskesmas. Jauh sekali. Di Kecamatan Jasinga, ujung barat Kabupaten Bogor. Tentu saja ia rindu pada pepuja hatinya. Segelas kopi menghangatkan ingatan ketika benaknya disesaki bayang-bayang Tami. 

Pagi di beranda sedang hangat-hangatnya ketika Remba mulai menulis.

Kamu sibuk, Yang?

Maafkan kalau tulisan ini mengganggumu. Kamu pasti tahu bagaimana menahan rasa kangen. Ngeri-ngeri sedap. Tidak apa-apa kalau kamu belum bisa membaca tulisan ini. Tulisan ini memang tidak harus kaubaca sekarang. Nanti saja saat kamu istirahat atau ketika kencing di toilet atau sambil makan siang. Tidak kaubaca pun tidak apa-apa. Toh kamu sudah tahu apa saja yang dapat memantik rindu saya kepadamu.

Ia berhenti sejenak dan memejamkan mata. Rindu memang punya kuasa tak terperi dalam memerihkan dan memedihkan perasaan. Rindu kadang menyertakan kenangan baik-baik yang pernah dilalui bersama, kadang menghadirkan bayangan buruk tentang begini dan begitu yang dibayangkan akan terjadi. Kehadiran rindu, sememerihkan dan sememedihkan apa pun, selalu menguatkan cinta. 

Ia mengusap wajah dan mengembuskan napas sangat keras. Menunduk lalu kembali menulis. 

O ya, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu.Kamu masih ingat Pak Roby, kan? Lelaki tinggi tegap di sebelah timur kamarku. Lelaki yang rambut di kumisnya tebal, tetapi di kepalanya tipis alias botak. Oke, kamu sudah mengingatnya. Siplah. Pak Roby itu ajaib. Bagiku malah sangat ajaib. Ia selalu merasa malu atau risih atau jengah kalau keliru berbahasa Inggris, namun biasa-biasa saja bila keliru berbahasa Indonesia. Seolah-olah keliru berbahasa Inggris itu amat memalukan, sementara salah berbahasa Indonesia tidaklah memilukan.Kalau ia keliru menggunakan kosakata Inggris, mukanya langsung semerah warna bendera kita. Tetapi kalau salah menggunakan kosakata Indonesia, ia cengar-cengir saja. Padahal ia selalu berkicau di Twitter tentang mencintai bahasa Indonesia tiap Hari Sumpah Pemuda tiba. Padahal dinding Facebook-nya selalu dipenuhi kata-kata bijak tentang bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa.

Ternyata ada warga negara seajaib itu. Tetanggaku pula.

Remba tersenyum setelah mengetik kalimat "tetanggaku pula". Semalam ia berdebat sengit dengan Pak Roby gara-gara kata antre. Pak Roby meneriaki para pemburu takjil supaya antre dengan tertib. Tetapi beliau menyebut antri, bentuk salah kaprah dari kata antre. Remba menegurnya. Eh, Pak Roby memeletot dan mendesis, "Urusan perut lebih utama dibanding kata yang keliru." 

Ia menggeleng-geleng. Masih banyak peristiwa lain terkait Pak Roby yang meloncat-loncat dalam benaknya. Namun, ia ingin menyelesaikan suratnya. Rindu sudah menggelepar dan menggelotar di dadanya.

Apakah di kantormu ada rekan kerja yang seperti itu, Yang? Kasihan, ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun