Meskipun terdapat pro-kontra penetapan Kabupaten Belu dan Malaka sebagai 2 dari 62 daerah tertinggal di Indonesia untuk Periode 2020-2024 oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Mei 2020 melalui Perppres No. 63 Tahun 2020, tetapi kita harus akui bahwa wajarlah jika pemerintahan Joko Widodo memasukan 2 daerah ini sebagai daerah tertinggal.
Tentu saja Perppres telah dilakukan dengan berdasarkan rekam jejak kiprah para warga yang hidup di 2 Kabupaten ini selama bertahun-tahun. Berdasarkan rekam jejak, setiap hari para warga di desa-desa lebih banyak berurusan dengan adat istiadatnya, baik dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.Â
Warna-warna pengelolaan sosial, ekonomi dan politik dilakukan dengan lebih banyak warna dominan pada pengelolaan ekonomi adat. Jadi semua kehidupan sosial, religius, politik, pendidikan dan humanisasi mengikuti warna dalam tata adat istiadat.
Secara singkat didapat disimpulkan bahwa Komunitas Adat Terpencil (KAT) memiliki masalah dalam hal kesejahteraan sosial yang rendah. Dalam suasana krisis kesejahteraan sosial muncul banyak kasus-kasus kesusilaan dan kasus moral yang mengancam keselamatan hidup warga adat.Â
Perpecahan dalam keluarga adalah hal biasa yang menimpah para warga adat terpencil ini. Boleh jadi masalah-masalah ini diselesaikan dengan emosi, kemarahan dan menegak minuman keras dengan alkohol. Jika kesejahteraan sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT) itu pulih dan terjamin maka maka mereka akan hidup secara tenang, bahagia dan gembira dalam kehidupan setiap hari.
Dengan penetapan status sebagai dua dari daerah-daerah tertinggal di Indonesia, Lembaga-lembaga pendidikan di 2 Kabupaten mendapatkan tamparan keras. Pendidikan telah gagal dalam meningkatkan kesejahteraan warga desa-desa. Padahal setiap tahun pemerintah meluncurkan Miliaran dana pendidikan dalam bentuk dana BOS ke dua Kabupaten ini. Â
Meskipun memiliki dana yang besar, jika tanpa didukung oleh kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, pengelolaan pendidikan akan mendapatkan kegagalan. Pendidikan, dengan dana yang besar setiap tahun, jika hanya menghasilkan status sebagai daerah tertinggal adalah mengecewakan.
Pertanyaan bisa dilontarkan:Â apakah pemerintah daerah sudah berkomitmen sungguh-sungguh terhadap kemajuan pendidikan daerah melalui pendidikan? Jangan-jangan status daerah tertinggal adalah bukti nyata bahwa selama ini pemerintahan Kabupaten di Belu dan Malaka telah mengabaikan bidang pendidikan.Â
Pendidikan di 2 Kabupaten ini telah dilaksanakan dengan setengah-setengah hati. Pendidikan dilakukan secara asal-asalan, yaitu: dengan asal mendidik, asal bersekolah, asal menjadi guru, asal menulis, asal menjadi siswa, dll.Â
Selama saya menjadi guru sejak tahun 2005 sampai tahun 2020 ini, hampir tidak pernah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten berkunjung secara teratur di setiap sekolah. Juga hampir tidak pernah Bupati, Wakil Bupati, Anggota Dewan dan pejabat-pejabat teras daerah Kabupaten melakukan kunjungan secara lebih dekat dengan para guru di sekolah.Â
Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan kurang diperhatian sebagai ujung tombak pembangunan. Kondisi ini menjadi faktor penyebab utama mengapa Kabupaten Belu dan Malaka dikategorikan sebagai daerah-daerah tertinggal.
Kesejahteraan sosial merupakan suatu tata kondisi kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir bathin yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
Pengalaman membuktikan bahwa pemberdayaan kesejahteraan sosial telah mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam menanggulangi banyak permasalahan sosial yang diakibatkan oleh para Komunitas Adat Terpencil (KAT) sebagaimana tercantum dalam KEPPRES NOMOR 111 Tahun 1999 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Menurut definisinya, yang dimaksud dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah "Kelompok-kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar atau belum terlibat dalam jaringan social, ekonomi maupun politik".
Dalam rangka pemberdayaan KAT harus melibatkan Instansi/Dinas terkait sejak awal persiapan hingga terminasi secara sinergis. Keterpaduan tersebut dilakukan secara kohesif dan didukung oleh pemerintah daerah serta perangkat daerah lainnya yang terkait.Â
Dalam rangka mewujudkan keterpaduan tersebut perlu dilakukan koordinasi, sinkronisasi dan integritas program melalui kerja sama intern maupun lintas sektor terkait, dunia usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial.
Untuk menunjang keberhasilan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil (PKS-KAT) dibutuhkan kerjasama antar instansi terkait dalam Kelompok kerja Pemberdayaan KAT (POKJA-KAT) sebagai wadah koordinasi antar instansi sejak tahap perencanaan , persiapan , pemberdayaan, pelaksanaan hingga pengendalian dan monitoring sehingga perlu dibuat program KAT.
Adapun program-program pemberdayaan KAT yang bersumber dari dana APBN dan APBD, yaitu: berupa rehab rumah dan ditambah dengan bantuan jaminan hidup (JADUB), peralatan kerja dan peralatan rumah tangga.Â
Pada intinya ialah bahwa pemberdayaan warga KAT harus bersumber dari pendanaan APBN dan APBD Kabupaten yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok warga negara di bidang perumahan, pakaian dan makanaan serta kebutuhan-kebutuhan yang mendukung agar mereka dapat mempraktekkan kehidupan adat mereka.
Pada intinya pemberdayaan KAT dan masyarakat tertinggal bertujuan untuk memberdayakan komunitas warga adat terpencil dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik itu jasmani, rohani dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan. Pembangunan harus tetap dilaksanakan dengan memperhatikan adat istiadat setempat.