Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inilah Pekerjaan yang Cocok "di Rumah Aja" Demi Meningkatkan Kualitas Kesehatan Para Warga Pedalaman

28 September 2020   04:33 Diperbarui: 28 September 2020   04:36 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para wanita sedang menenun di Desa Faturika, Kec. Raimanuk-Kab. Belu. Gambar diambil pada tahun 2018 sebelum Pandemi Corona.(Foto: Yandi/Beritagar.id).

Di rumah aja selama Pandemi Corona, mengapa tidak menenun saja? Menenun kain adalah pekerjaan favorit kaum wanita tradisional yang dapat dilakukan di rumah aja. 

Dalam zaman internet ini, aktivitas menenun tetap berharga. Pekerjaan favorit kaum wanita tradisional suku-suku di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tidak dilakukan secara digital. 

Keahlian dalam menenun mereka peroleh secara mandiri. Banyak dari kaum wanita ini dilatih untuk menjadi penenun trampil dalam pendidikan non formal dari Kursus Suluh Labur.

Dalam foto di atas, kelompok wanita tradisional Tetum ini sedang menenun untuk menghasilkan kain adat pada tahun 2018. Kain adat itu nantinya dipakai untuk beberapa kebutuhan, seperti: menari, pertemuan adat, selimut, pakaian, adat pernikahan dan kematian. 

"Di Rumah Aja", dan Tetap Bekerja

Di wilayah Tetum Belu, kaum wanita dikenal dengan sebutan "sasanan-talin", sedangkan kaum pria dikenal dengan sebutan "taha-besi". Sebutan "sasanan-talin" bagi wanita dikarena tugas pokok wanita adalah "memasak, menenun dan merawat anak" di rumah saja. Sedangkan sebutan 'taha-besi' bagi pria dikarenakan tugas pokok pria adalah "bertani dan beternak" di kebun.

Pekerjaan yang cocok di rumah aja seperti yang dilakukan Maria Hoar, dkk pada tahun 2018 di Faturika, Kec. Raimanuk, Belu-Prov. NTT. (Foto: Beritagar.id).
Pekerjaan yang cocok di rumah aja seperti yang dilakukan Maria Hoar, dkk pada tahun 2018 di Faturika, Kec. Raimanuk, Belu-Prov. NTT. (Foto: Beritagar.id).
Hebat benar apa yang dilakukan kelompok para wanita desa Faturika di Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu ini. Tentu selama karantina akibat Pandemi Corona mereka juga sibuk menenun. Mereka masing-masing tenggelam dalam kesibukan menenun. Sesekali mereka berceritera atau sharing tentang cara mereka menenun.

Aktivitas menenun adalah salah satu tradisi adat istiadat berharga yang dimiliki kaum wanita etnis Tetum ini di dalam dan sekitar rumah adat. Jika demikian maka betapa enaknya menjadi orang desa pedalaman. Sudah tidak terkena kemungkinan serangan virus Corona, malah diajak kerja di rumah aja, dan mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) secara rutin selama Pandemi Corona berlangsung.

Ini kain seharga Rp 35 juta. (Foto: Kilastimor.com).
Ini kain seharga Rp 35 juta. (Foto: Kilastimor.com).
Sepotong kain adat hasil tenun para wanita ini bisa laku seharga Rp 500.000 di pasaran adat. Saya pernah membeli sebuah kain adat Belu di Toko Manumean Atambua seharga Rp 500 ribu, harga demikian tergolong murah. Beberapa kain adat lelaki atau pria Belu berharga sekitar Rp 1,5 juta malahan di toko Manumean. Kata sang baba penjual kain-kain adat itu, makin klasik sebuah kain adat makin mahal harga kain adat itu. Di pameran Culture Fashion Festival di GOR L.A. Bone Tulamalae pada 23 Oktober 2017, harga kain tenun ikat Kec. Raimanauk-Belu motif Cicak mencapai Rp 35 juta. 

Boleh dikatakan para wanita dalam gambar di atas ini mengartikan kata "di rumah aja" sebagai ajakan pemerintah bagi mereka untuk menenun. Para wanita ini terlihat sehat dan cekatan. Inilah bukti bagaimana ajakan pemerintah bagi para warga untuk tinggal di rumah saja mendapatkan banyak manfaat bagi kaum wanita di desa-desa.

Selama Pandemi Corona, semua warga yang tinggal di desa-desa pedalaman juga hanya tinggal di rumah saja. Selama ini para warga melakukan aktivitas sesuai dengan musim-musim selama satu tahun. Selama musim panas, para warga beternak dan menyiapkan kebun. Lalu selama musim hujan warga berternak dan berkebun: menanam, membersihkan kebun dan memanen. Meskipun ada wabah Pandemi Corona, para warga di desa-desa tidak terpengaruh dengan Pandemi Corona sebab saban hari mereka melakukan kegiatan di kebun dan padang.

Tentang Pandemi Corona, para warga yang paling terpengaruh ialah pedagang, pekerja kebun, perkerja kantoran, guru dan pekerja industri. Semua warga diwajibkan oleh pemerintah untuk menjalankan karantina di rumah saja. Dengan hanya tinggal di rumah aja, kualitas kesehatan mereka meningkat dengan cepat. Memang fasilitas hidup di rumah tidak semewah fasilitas hidup orang-orang kota, hanya saja dengan tinggal di rumah saja, mereka dapat berkumpul kembali dan sibuk mengurusi diri mereka sendiri.

Pekerjaan pokok warga pedalaman adalah bertani dan beternak untuk produksi keluarga sendiri. Bantuan pemerintah rutin menemui para warga pedalaman selama Pandemi Corona, mulai dari bantuan listrik bulanan sampai dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kemarin, saya juga masih sempat menyaksikan para warga desa sedang antri menerima uang Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 600 ribu setiap Kepala Keluarga (KK) di kantor desa setempat.

Selama Pandemi Corona, pekerjaan yang paling aman di desa-desa dan kampung-kampung di NTT adalah menenun. Sebab menenun sebagai pekerjaan wanita membutuhkan konsentrasi pribadi dan dalam kondisi jarak aman sehingga para penenun dapat duduk dalam posisi bebas dari ancaman Pandemi Corona.

Sebuah petisi di Change.org menulis bahwa anak-anak sekolah banyak menderita akibat Pandemi Corona. Mereka tidak dapat mengakses sekolah digital karena ketiadaan uang. Herannya dalam suasana Pandemi, banyak proyek digulirkan pemerintah. Proyek-proyek seperti pembangunan infrastruktur tetap dilaksanakan di desa-desa. Sehingga anak-anak seolah yang pulang ke rumah karena karantina nasional Pandemi Corona terpaksa harus menjadi kuli bangunan demi mendapatkan uang untuk membeli Gadged dan Handphone agar bisa mengakses sekolah digital.

Saya sampai kurang mengerti, jika kepada warga pedalaman juga diberlakukan gerakan tinggal di rumah saja. Apakah mereka tidak melakukan pekerjaan di kebun atau di padang? Sulit mengatakan bahwa Pandemi Corona mempengaruhi pendapatkan para petani dan peternak di pedalaman. Kehidupan mereka tetap berlangsung biasa-biasa saja. Mereka tidak berhubungan dengan orang asing. Sehingga tidak memiliki potensi terserang virus Corona.

Saya merasa janggal dengan kebijakan pemerintah membagi Bantuan Langsung Tunai (BLT) selama Pandemi Corona kepada para warga pedalaman. Mengapa saya merasa janggal terhadap kebijaksanaan ini? Sebab di kanpung-kampung di NTT, para warga tidak mengalami kasus apapun terkait Corona. Sehari-harinya mereka tidak berhubungan dengan orang asing. Sehingga tidak mungkin para warga pedalaman bisa terjangkit Pandemi Corona?

Saya sampai mengambil kesimpulan: ach, alangkah enaknya menjadi warga pedalaman. Kita diajak hanya untuk tinggal di rumah aja. Lalu tidak lama kemudian, kita pergi ke kantor desa untuk menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Jika sakit, kita pergi dan berobat ke Rumah Sakit (RS) dengan membawa kartu Jamkesmas di tangan.

Para warga desa pedalaman biasanya menyimpan semua barang- berharga mereka di dalam dan halaman rumahnya. Barang-barang berharga itu adalah hewan-hewan, dll. Jadi selama Pandemi Corona mereka dapat memberikan makan hewan di halaman rumah sendiri.

Di Rumah Aja dan HIndari Judi, Mete dan Miras

Salah satu ancaman paling ditakuti selama Pandemi Corona sebagai akibat "di rumah aja" adalah ancaman judi dan minuman keras lokal. Judi dilakukan dalam kesempatan mete-mete malam saat kematian tetangga. Selain itu judi bisa dilakukan oleh perjanjian antara para penjudi itu sendiri. Itulah hal-hal negatif yang terjadi jika orang-orang desa menghabiskan waktu bersama-sama di rumah saja.

Selain judi, satu atau dua botol sopi (minuman tradisonal beralkohol) menjadi sarana pemersatu. Jika miras masak, harganya lebih mahal. Biasanya orang desa menegak minuman keras yang disadap dari pohon tuak atau daun lontar. Harga miras domestik hasil sadapan dari pohon tuak berharga lebih murah dari miras local masak, tetapi kekuatan miras hasil sadapan punya kekuatan memabukkan juga tinggi.

Kesimpulan

Wilayah Kabupaten Belu di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk salah satu wilayah tertinggal, perbatasan  dan wilayah terisolir di Indonesia. Di wilayah terisolir ini, kaum pria da wanita selalu melakukan pekerjaan tradisional, salah satunya adalah menenun manual. Meskipun hanya secara manual, pekerjaan menenun di rumah aja dapat meningkatkan kualitas kesehatan para warga pedalaman ini. Banyak hal yang terbengkalai dapat diperhatikan lagi, misalnya: memasak, minuman ramuan tradisional, membersihkan diri dan lingkungan, mengurusi anak, mencuci dan menenun. Para pria juga dapat melakukan pekerjaan wanita. Hanya saja kebiasaan judi, mete dan miras harus tetap dihindari karena kebiasaan ini memberikan efek negatif bagi kesehatan rohani dan jasmaniah. Silahkan klik link-link berikut untuk membaca informasi: KORINDO, Kesehatan yang Baik untuk Sesama  dan  dan Klinik Asiki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun