Anehnya, meskipun kami  begitu dekat, aku tidak pernah berani katakan cinta pada Tira. Ia juga tidak pernah bertanya, apakah aku mencintai dirinya. Tak apalah, kurasa diriku sudah nyaman saja bersama gadis ini. Tanpa cintapun kami bisa jalan bareng kemana saja di kota ini.
"Tira, apakah pacarmu tidak marah, kalau kita bersama terus."
"Tidak, kalau kamu. Adakah pacar di Makassar."
"Tidak, aku tidak punya pacar."
"Kalau aku punya calon suami di kampung."
Huk, puhhh. Kopi yang kuhirup termuntah lewat hidung. Bagai disambar petir di siang bolong, aku kaget mendengar kalau Tira sudah punya tunangan di kampung.
"Tenang saja dank."
Dengan slang, "dank," ala Kaili, Tira menyapu punggungku pakai telapak tangannya yang lembut. Aku kembali tenang dan mengisap dalam-dalam rokok kegemaranku. Walau peringatan pemerintah, merokok bisa merusak kesehatan, impotensi dan gangguan janin. Tetapi menurut teman-teman jurnalisku, merokok adalah bagian dari inspirasi dan semangat kerja.
Tira  terus perhatikan mulutku  bagaikan cerobong mini menumpahkan gumpalan asap. Gadis Kaili ini tahu kalau aku gelisah dengan perasaan tidak menentu. Tentu saja ini adalah kebodohanku, membocorkan perasaan.
"Tiro, apakah engkau mencintaiku."
Pertanyaan Tira membuatku lega. Inilah pertanyaan yang berhari-hari aku nantikan dari mulut indah wanita ini. Tentu saja aku akan menjawabnya dengan pasti.