Hybrid deployment memungkinkan organisasi menjaga kontrol atas aset penting sambil tetap mendapatkan manfaat dari fleksibilitas cloud. Misalnya, sebuah rumah sakit dapat menyimpan data rekam medis secara lokal untuk menjamin privasi, tetapi menjalankan analisis data dan sistem pendukung keputusan di cloud.
Meski fleksibel, model ini menuntut kompleksitas manajemen yang lebih tinggi. Integrasi antar lingkungan, keamanan lintas sistem, dan sinkronisasi data menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, peran arsitektur perangkat lunak dan tim software operations sangat vital dalam menyusun strategi yang tepat agar sistem hybrid dapat berjalan efisien dan aman.
Integrasi dengan Strategi Operasional Perangkat Lunak
Ketiga model deployment ini tidak dapat dipilih secara sembarangan. Mereka harus dikaitkan dengan strategi teknis, operasional, dan bisnis secara menyeluruh. Dalam konteks rekayasa operasional perangkat lunak, pemilihan model deployment harus mempertimbangkan siklus pengembangan perangkat lunak, mekanisme pembaruan sistem, pemantauan, serta otomatisasi proses.
Sebagai contoh, penerapan DevOps dan pendekatan continuous delivery hanya dapat optimal jika dipadukan dengan arsitektur deployment yang mendukung. Cloud sangat unggul dalam mendukung pipeline otomatis, sementara on-premises perlu dibangun dengan kemampuan serupa secara manual. Hybrid dapat menawarkan kombinasi kekuatan keduanya, jika dirancang dengan pendekatan berbasis layanan (service-oriented).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI