Di sebuah kampung, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Di depan semua orang, ia dikenal sebagai sosok yang ramah, dermawan, dan selalu tersenyum. Namun di balik itu, hatinya keras dan penuh amarah.
"Raka memang orang baik," puji Bu Ratna suatu sore di warung. "Setiap ada acara desa, dia selalu menyumbang banyak."
Raka yang kebetulan lewat hanya tersenyum manis. "Ah, Bu Ratna, saya hanya membantu semampunya," jawabnya rendah hati. Tetapi di dalam hati ia bergumam, Mereka harus tahu kalau tanpa saya, acara itu tak akan berjalan.
Di rumah, adiknya, Dini, mendekat sambil membawa buku sekolah. "Kak, Dini minta tolong jelasin PR matematika. Susah banget," pintanya.
Raka menatap adiknya dengan dingin. "Aku capek, Din! PR kamu kerjain sendiri. Jangan manja," bentaknya. Dini terdiam dan menahan air mata.
Beberapa hari kemudian, Pak Lurah meminta warga bekerja sama melakukan ronda malam, karena tahun tahun lalu sering terjadi kemalingan. Raka datang paling awal, tapi bukan karena peduli. Ia ingin dilihat.
Wah, Raka rajin sekali. Belum dipanggil saja sudah datang," kata Pak Lurah tersenyum.
"Ya, Pak. Keamanan itu penting," jawab Raka. Namun dalam hati ia menggerutu, Kalau bukan karena ingin dipuji, buat apa aku repot-repot datang lebih awal?
Keesokan harinya, di sore hari Rumah keluarga Raka kemalingan. Dini ketakutan.
"Kak, barang berharga kita di kamar aku hilang!" teriak Dini panik.
"Ya sudah! Biar saja! Kamu saja yang suruh Tuhan kirim maling," kata Raka dengan nada marah.
Ibunya mencoba menenangkan. "Raka, jangan keras hati. Ini ujian. Kita harus sabar."
Raka mendengus. "Sabar? Untuk apa? Saya sudah capek jadi orang baik, tapi tetap saja kita kena musibah."
Malam itu, ia keluar rumah, duduk di pos ronda sendirian. Seorang kakek tua yang bijak lewat dan berhenti. "Nak Raka, kenapa murung?" tanyanya.
Raka mendengus. "Semua ini sia-sia, Kek. Saya sudah berusaha terlihat baik di mata orang, tapi tetap saja hidup begini-begini saja."
Kakek itu tersenyum tipis. "Nak, kebaikan yang hanya dilakukan untuk dilihat orang tidak akan membawa ketenangan hati. Itu namanya munafik. Dan keras hati hanya akan membuatmu semakin jauh dari kebaikan yang sejati."
Raka terdiam. "Munafik? Saya hanya ingin orang tahu saya baik."
"Itulah masalahnya. Kebaikan sejati tidak butuh panggung. Jika hatimu keras, bahkan kebaikanmu hanya akan jadi beban," kata sang kakek.
Kata-kata itu menusuk hati Raka. Malam itu ia menangis. Ia meminta maaf kepada Dini dan ibunya. Esok harinya, ia membantu melaporkan kepada polisi untuk menangkap malingnya.
"Kak Raka sekarang beda," kata Dini sambil tersenyum.
Raka menghela napas. "Mulai sekarang, Kakak akan belajar berbuat baik tanpa harus pamer. Dan Kakak akan belajar sabar, meski berat."
Sejak hari itu, Raka perlahan berubah. Ia tak lagi hanya memakai "topeng" kebaikan, melainkan mulai menumbuhkan kebaikan yang tulus dari hati.
Di sebuah kampung, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Di depan semua orang, ia dikenal sebagai sosok yang ramah, dermawan, dan selalu tersenyum. Namun di balik itu, hatinya keras dan penuh amarah.
"Raka memang orang baik," puji Bu Ratna suatu sore di warung. "Setiap ada acara desa, dia selalu menyumbang banyak."
Raka yang kebetulan lewat hanya tersenyum manis, tersipu malu. "Ah, Bu Ratna, saya hanya membantu semampu saya," jawabnya rendah hati. Tetapi di dalam hati ia bergumam, Mereka harus tahu kalau tanpa saya, acara itu tak akan berjalan.
Saat ia di rumah, adiknya, Dini, mendekat sambil membawa buku sekolah. "Kak, Dini minta tolong jelasin PR matematika. Susah banget, kak. Aku pikir kakak bisa mengerjakan ini dengan mudah" pintanya.
Raka menatap adiknya dengan dingin. "Aku capek, Din! PR kamu kerjain sendiri. Jangan manja," bentaknya. Dini terdiam dan menahan air mata.
Beberapa hari kemudian, Pak Lurah meminta warga bekerja sama melakukan ronda malam, karena tahun tahun lalu sering terjadi kemalingan. Raka kebagian untuk piket saat malam itu juga, ia datang paling awal, tapi bukan karena peduli. Ia ingin dilihat oleh warga.
Wah, Raka rajin sekali. Belum dipanggil saja sudah datang," kata Pak Lurah tersenyum.
"Ya, Pak. Keamanan itu penting," jawab Raka. Namun dalam hati ia menggerutu, Kalau bukan karena ingin dipuji, buat apa aku repot-repot datang lebih awal?
Keesokan harinya, di sore hari Rumah keluarga Raka kemalingan. Dini ketakutan.
"Kak, barang berharga kita di kamar aku hilang!" teriak Dini panik.
"Ya sudah! Biar saja! Kamu saja yang suruh Tuhan kirim maling," kata Raka dengan nada marah.
Ibunya mencoba menenangkan. "Raka, jangan keras hati. Ini ujian. Kita harus sabar."
Raka mendengus. "Sabar? Untuk apa? Saya sudah capek jadi orang baik, tapi tetap saja kita kena musibah."
Malam itu, ia keluar rumah, duduk di pos ronda sendirian. Seorang kakek tua yang bijak lewat dan berhenti. "Nak Raka, kenapa murung?" tanyanya.
Raka mendengus. "Semua ini sia-sia, Kek. Saya sudah berusaha terlihat baik di mata orang, tapi tetap saja hidup begini-begini saja, ada saja musibah yang menimpa saya"
Kakek itu tersenyum tipis. "Nak, kebaikan yang hanya dilakukan untuk dilihat orang tidak akan membawa ketenangan hati. Itu namanya munafik. Jika kamu keras hati hanya akan membuatmu semakin jauh dari kebaikan yang sejati nak."
Raka terdiam. "Munafik? Saya hanya ingin orang tahu saya baik."
"Itulah masalahnya. Kebaikan sejati tidak butuh panggung. Jika hatimu keras, bahkan kebaikanmu hanya akan jadi beban," kata sang kakek.
Kata-kata itu menusuk hati Raka. Malam itu ketika ia hendak tidur, ia menangis merenungi kesalahannya. Ia meminta maaf kepada Dini dan ibunya. Ketika malam ia terus merenungi kesalahannya selama ini. Ia juga meminta ampun kepada Allah Swt. Esok harinya, ia membantu ibu dan adiknya untuk melaporkan kepada polisi untuk menangkap malingnya.
"Kak Raka sekarang beda ya bu," kata Dini sambil tersenyum dan berbicara kepada ibunya.
Raka menghela napas. "Mulai sekarang, Kakak akan belajar berbuat baik tanpa harus pamer. Dan Kakak akan belajar sabar, meski berat."
Sejak hari itu, Raka perlahan berubah. Ia tak lagi hanya memakai "topeng" kebaikan, melainkan mulai menumbuhkan kebaikan yang tulus dari hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI