Di sebuah kota kecil, ada seorang pemuda bernama Hasan. Ia dikenal sebagai anak yang rajin beribadah. Hampir setiap waktu shalat, orang-orang melihatnya di masjid. Hasan selalu tampil rapi, wajahnya tersenyum ramah, dan lisannya penuh dengan ucapan yang terdengar bijak. Banyak orang berkata, "Alangkah baiknya pemuda itu. Semoga anak-anak kita bisa seperti Hasan."
Namun, apa yang tampak di mata manusia tidak sama dengan kenyataan. Di balik penampilannya, Hasan sering kali merasa berat untuk beribadah. Shalat yang ia lakukan di masjid hanyalah karena ingin dilihat orang. Bila ia sendirian di rumah, sering kali ia meninggalkan shalat. Bila berbicara, ia terbiasa melebih-lebihkan cerita. Kadang ia berjanji untuk membantu, tetapi janji itu tidak pernah ditepati.
Hasan merasa aman karena orang-orang tetap menilainya baik. Ia pikir, selama semua orang percaya dirinya taat, maka semuanya akan baik-baik saja.
Suatu malam, setelah shalat Isya, seorang ustadz tua bernama Syekh Abdullah memberikan nasihat di masjid. Ia berkata dengan suara lembut namun penuh makna:
 "Wahai saudara-saudaraku, berhati-hatilah dari sifat munafik. Orang munafik itu tidak selalu terlihat jahat. Kadang mereka terlihat baik, manis bicaranya, indah penampilannya. Tapi di dalam hatinya ada kebohongan. Rasulullah SAW bersabda: 'Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.' (HR. Bukhari & Muslim)."
Hasan mendengarkan dengan wajah tenang, seolah nasihat itu bukan untuknya. Namun, kalimat selanjutnya membuat hatinya bergetar.
Syekh Abdullah melanjutkan:
"Orang munafik itu ibarat cermin yang retak. Dari luar, ia masih bisa memantulkan cahaya. Orang yang melihat mungkin menyangka wajahnya jelas. Tapi bila didekati, bayangan itu pecah, terbelah, tidak lagi jernih. Begitu pula orang munafik---ia menipu orang lain dengan wajahnya yang tampak bersinar, padahal di dalamnya penuh retakan yang tak terlihat."
Ucapan itu menancap dalam hati Hasan. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti sedang bercermin pada dirinya sendiri. Ia sadar bahwa selama ini amalnya hanya hiasan. Ia seperti cermin retak---tampak berguna, tapi sejatinya tidak mampu memantulkan kebenaran.
Malam itu, Hasan pulang dengan langkah berat. Ia masuk ke kamarnya, menatap wajahnya di cermin. Ia bertanya dalam hati: "Apakah aku benar-benar beriman, atau hanya berpura-pura? Apakah Allah ridha pada diriku, atau aku hanya sibuk mencari ridha manusia?"
Air mata pun menetes. Hasan teringat ayat Allah: