Mohon tunggu...
Diahningtias Windayani
Diahningtias Windayani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Yogyakarta kota kenangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tatkala Mimpi Berakhir (2) Tamat

21 Juni 2013   23:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku turun dari mobil Yoga ketikahari telah menjadi gelap. Melihat motor Bagas di depan rumah, tiba-tiba aku merasa bersalah kepada suamiku. Aku tak tahu apakah Yoga merasakan itu atau tidak, ia tidak berkata apa-apa lagi setelah aku turun dari mobil. Dia hanya mengucapkan

“Sampai ketemu lagi!”

Sesudah mobil Yoga berlalu, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Kulihat Bagas sedang menonton televisi. Aku merasa dia menatapku tajam ketika aku melintas di depannya.

“Dari mana saja, jam segini baru pulang?” tanyanya tajam.

“Tumben jam segini kau sudah di rumah, biasanya kau pulang lebih larut” sindirku sambil melepas sepatu dan masuk ke kamar mengambil handuk, kemudian aku masuk ke kamar mandi.

Tak kudengar suara anak-anak, kucari mereka. Kulihat di kamar tidurnya kosong. Aku langsung ke ruang belajar, ternyata mereka ada di situ. Si kecil menyambutku dengan riang.Kemudian Arum berceloteh dengan riangnya menceritakan kejadian di sekolahnya. Anakku yang besar hanya memandangku sekilas kemudian kembali mengerjakan PR.

Aku semakin merasa bersalah kepada mereka. Tidak seharusnya aku sering meninggalkan mereka. Seharusnya aku ada di samping mereka saat mereka belajar. Aku mengelus rambut Dani. Dia diam bergeming , asyik mengerjakan PR nya.

“Sudah makan? Mama bawa pizza lo!” ujarku

“mau...mau!” teriak Arum girang.

“Dani, kamu tidak suka?” tanyaku seraya membelai-belai rambutnya.

Dani mengangkat wajahnya memandangku “Mau dong!” ujarnya tak acuh.

Tiba-tiba Bagas sudah ada di sampingku, dia mencolekku dan berkata

“Aku mau bicara!”

“Setelah belajar kalian boleh menghabiskan pizzanya, mama tinggal dulu ya!” kataku seraya berjalan mengikuti Bagasberjalan di belakangnya. Bagas masuk kamar dan segera menutupnya. Suaranya begitu keras ketika aku sudah berada di kamar dan duduk di kursi meja rias.

“Sudah puas?” tanyanya

“Apanya yang puas?”

“Apa yang kau lakukan dengan laki-laki itu?”

Aku tertegun menatapnya. Betapa egoisnya laki-laki itu. Bila dia yang pulang larut, tentunya dia akan marah bila kuberondong dengan pertanyaan yang bersifat mencurigai. Seperti beberapa waktu yang lalu, ketika aku mencurigai hubungannya dengan Anita. Namun, kini semuanya berbalik kepadaku. Ganti Bagas yang mencecarku dan mencurigaiku. Aku akui aku memang mencintai Yoga. Tapi, aku tak pernah sekali pun melakukan hal-hal yang merendahkan harga diriku sebagai seorang wanita.

“Tidak bisa menjawab?” ia berkata lagi. Matanya merah terarah kepadaku. Mata itu bersinar dalam kemarahannya dan mata itu seolah-olah menelusuri seluruh tubuhku.

“Bukan tidak bisa menjawab. Tapi aku malas berdebat denganmu. Pertanyaanmu tidak perlu kujawab karena tidak masuk akal” kataku seraya berusaha tetap dengan kepala dingin.

“Apanya yang tidak masuk akal?”

“Jelas tidak masuk akal tuduhanmu!” ujarku ketus.

“Jawablah dengan jujur! Apa yang sudah kamu lakukan dengan laki-laki itu sampai pulang larut malam, tega meninggalkan buah hatimu!”

Aku menarik napas panjang, mulai merasa tersudut

“Kau keliru menafsirkannya. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya sekedar makan” ujarku.

Kemudian aku beranjak dari tempat dudukku dan berbaring di tempat tidur. Aku berusaha tidak ingin meladeni kemarahannya. Aku memang salah. Aku sudah pergi dengan lelaki lain. Tapi dia sendiri bagaimana, Apakah dia juga setia terhadap komitmen yang telah kami ikrarkan? Aku dengar gosip di kantornya semakin santer menggunjingkan Bagas dengan Anita. Hal itu kudengar dari Purnomo teman sekantornya.

Aku sebagai istri sudah berusaha untuk tidak menanggapi gosip miring itu. Aku tidak menggubrisnya ketika Purnomo mengatakan perselingkuhan Bagas. Aku sudah tidak peduli lagi. Biar dia mengkhianati diriku, karena aku pun sudah menemukan sebuah telaga yang bening. Sebuah telaga yang membuatku selalu ingin berada di dalamnya, telaga yang selalu membuaiku dalam sebuah impian yang indah.

Tiba-tiba Bagas membalikkan tubuhku dengan kasar sehingga berhadapan dengan tubuhnya. Dia menatapku tajam. Aku meringis kesakitan. Bagas mencengkeram bahuku, aku menepiskan tangannya yang masih berada di bahuku.

“Apakah lelaki itu yang lebih berhak daripadaku?”

“Mas, kau egois! Kau dengan seenaknya menuduhku macam-macam dengan Bagas, padahal kami cuma bersahabat, sedangkan dirimu, apa yang sudah kau lakukan dengan Anita?” semburku marah.

Melihatnya terdiam, aku pergunakan untuk menyerangnya dengan kata-kata lagi

“Ke mana saja kau setiap Sabtu dengan Anita? Sejauh mana hubunganmu dengan Anita? Jangan kau pikir aku tidak tahu, ya! Selama ini aku cuma diam bukan berarti aku tidak tahu kebohonganmu, aku tak ingin ribut”

Bagas tidak menjawab.

“Kau sudah memukul harga diriku, kau menyakitiku! Sebagai istri aku merasa kau sepelekan. Aku sudah tidak semenarik sepuluh tahun yang lalu.Itu aku sadari, Mas!” seruku sambil terisak. Aku sudah tidak dapat menahan lagi untuk tidak menangis.

“Rupanya ada sesuatu yang kau dengar tanpa sepengetahuanku!” ujarnya

“Iya, bahkan aku pernah mendengar sendiri suara wanita itu saat dia menelpon hp-mu, dia menyatakan rindu dan mengajak ketemuan”

Tak kudengar bantahan dari Bagas, sehingga aku merasa kedudukanku menjadi berbeda. Kini aku berada di tempat yang memiliki wewenang untuk mengadili dirinya.

“Jawablah dengan jujur, apakah kau berpacaran dengan Anita?” tanyaku kemudian

“Ya, aku memang berpacaran dengan Anita” ujarnya lemah.

Dadaku tiba-tiba panas mendengar pengakuannya.

“Kau mencintainya?” tanyaku lagi.

“Tidak! Aku hanya bersimpati kepadanya, aku khilaf, maafkan aku!” ujarnya

“Kau sudah membawanya ke mana, mas? Penginapan?” cecarku

Bagas mengangguk. Kutahan perasaanku saat membayangkan Bagas dan Anita bermesraan di suatu tempat.

“Kau melakukannya, Mas? Katakan sejujurnya kepadaku” kataku setelah aku bisa menguasai diri untuk menata hatiku.

“Hampir saja terjadi” ujar Bagas “Kuajak Anita ke sebuah hotel. Kami berdua masuk kamar. Saat masuk kamar itulah tiba-tiba aku merasa diriku kotor. Seluruh niatku untuk bermesraan dengan Anita musnah. Apalagi tiba-tiba wajahmu dan anak-anak melintas. Aku pun minta maaf pada Anita dan dia pun mengerti”

Melihatku terdiam. Bagas menatapku

“Aku sudah jujur. Sekarang giliran kamu untuk berterus terang kepadaku, siapa laki-laki itu dan sampai sejauh mana hubunganmu dengan dia, aku tak rela ada laki-laki lain yang singgah di hatimu!” ujar Bagas

“Dia duda beranak satu, kami ketemu saat aku makan siang di kafetaria depan kantorku, kami jadi sering makan bersama, pergi bersama tapi jujur, aku belum pernah melakukan apa-apa dengannya. Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Harga diriku yang telah kau campakkan seolah-olah bangkit kembali sejak bersamanya” ujarku

“Kau mencintainya?”

“Nanti kau tersinggung”

“Tidak, Katakan saja!”

“Ya, aku mencintainya. Dia baik dan dia membutuhkan aku terutama anaknya”

Bagas diam saja.

“Kau marah?” tanyaku

“Tentu saja. Aku tidak rela!” ujar Bagas “Jangan kau lakukan itu lagi, Dinda!”

“Tetapi kau boleh melakukannya bersama Anita? Sungguh tidak adil!”

“Aku tak akan melakukannya lagi, Dinda. Aku sudah memutuskan untuk menjauhi Anita”

Tiba-tiba dadaku bergemuruh. Dadaku yang selama beberapa bulan ini terasa kosong , perlahan-lahan mulai terisi.

“Mengapa, Mas?” tanyaku penuh harap

“Karena aku masih mencintaimu dan anak-anak. Keutuhan rumah tanggaku lebih utama” jawabnya

Gerakan dadaku yang bergemuruh semakin mengisi ruang kosong di hatiku pun semakin kuat. Menyebar dan memenuhinya. Aku terdiam dan meresapinya.

“Kenapa diam? Tak suka aku kembali kepadamu? Kau berat melepasnya?”

Aku menggelengkan kepala. Diraihnya tubuhku dengan posisi masih berbaring dan dia mendaratkan kecupannya di keningku.

“Lupakan dia, kembali cintailah aku!” ujarnya sambil masih memelukku. Aku memejamkan mata tak terasa butiran bening menetes dari sudut mataku. Aku tak tahu bagaimana aku harus mengatakan semua ini kepada Yoga. Aku harus mengakhirinya, walau kenangan bersamanya masih tetap berada di hatiku. Tapi aku bertekat untuk menyelamatkan rumah tanggaku.

****

Ketika aku bertemu kembali dengan Yoga di sebuah restoran yang menyajikan aneka penyetan, kukatakan secara terus terang kepada Yoga kalau ini pertemuan yang terakhir setelah itu aku akan memutuskan untuk melupakannya walau sebenarnya kenangan bersama Yoga tak mungkin kulupakan begitu saja.

Yoga menatapku tak percaya. Matanya berkaca-kaca bagaikan butiran kristal. Yoga tak setuju dengan keputusanku yang tiba-tiba. Tekadku sudah bulat. Aku ingin memperbaiki rumah tanggaku yang sudah diambang kehancuran.

Hari ini, untuk pertama kalinya Yoga membawaku ke sebuah motel di daerah pegunungan. Kami bolos kerja sesudah jam istirahat makan siang.

“Anak-anak membutuhkanku, Yoga!” ujarku lirih tanpa berani menatap wajahnya “Lebih daripada kamu membutuhkan diriku!”

“Mengapa secepat ini kita berpisah, Dinda? Baru saja kita mendendangkan sebuah tembang haruskah tembang itu kita akhiri tanpa harus diselesaikan?”

“Aku mencintaimu, Yoga”

“Aku tahu kau mencintaiku! Tapi aku juga tahu dan sangat...sangat paham bahwa kau tak mungkin kumiliki!” Ujar Yoga sendu seraya menatap lepas pemandangan alam pegunungan yang begitu indah di atas balkon.

Aku menghampiri Yoga dan memeluknya penuh haru sambil menahan tangis

“Kau telah mengembalikan harga diriku, kepercayaan diriku. Ketika aku hancur kaulah yang mengumpulkan kepingan-kepingan itu sehingga utuh kembali. Kamu berada di sampingku saat akusangat membutuhkan seseorang yang dapat menyembuhkan lukaku”

“Aku tahu, niatmu baik, kau rela mengorbankan perasaan cintamu.Untuk merekalah kau kembali walaupun kau pernah disakiti suamimu dan...mereka berhak memilikimu seutuhnya” Ujar Yoga tersendat karena menahan tangis.

Yoga membalikkan tubuhnya. Kini kami berdiri berhadap-hadapan. Yoga melingkarkan kedua tangannya di pundakku dan aku memeluk dirinya. Yoga menghapus butiran kristal yang meleleh di pipiku dengan jemari tangannya. Jemari itu bergetar. Aku semakin tersedu.

“Tempat seorang istri memang di samping suaminya, Din!” ujarnya lirih.

“Aku telah memaafkannya dan berjanji akan saling memperbaiki rumah tanggaku yang hampir hancur”

“Aku tahu, jika seorang suami selingkuh dan meminta maaf pasti istrinya akan memaafkannya”

“Seorang istri harus bisa memaafkan kesalahan suaminya walaupun betapa sakitnya belati yang ditikamkan ke jantungku”

Aku kembali merangkul Yoga dengan terisak. Aku dapat merasakan betapa beratnya perasaan Yoga akan kutinggalkan. Aku juga dapat merasakan betapa dalam Yoga menyayangi diriku. Yoga balas memelukku, mendekapku dalam rengkuhannya. Aku semakin terisak. Yoga semakin mendekapku erat-erat.

Aku sadar, mungkin ini saat terakhir aku bisa bersama Yoga dan memeluk dirinya. Yoga mengendurkan pelukannya. Dia menatap mataku kemudian ia mendekatkan wajahnya ke wajahku,dikecupnya keningku, kedua mataku, pipiku dan akhirnya dia mendaratkan ciumannya dibibirku. Yoga melumat bibirku lembut. Aku tersentak, bukankah aku ini istri orang? Bukankah aku ini sudah tahu nilai-nilai buruk dan kebaikan? Apakah hatiku sudah mati? Ke manakah suara hatiku?

“Cukup, Yoga!” ujarku tersipu-sipu.

Yoga menarik napas panjang, memulihkan aliran darahnya yang tampak bergelora.Aku juga menyurutkan aliran darahku yang semula tak beraturan. Dan sesudah aliran darahku normal kembali aku segera memintanya untuk membawaku pulang. Aku tak ingin sesuatu hal yang di luar kesadaranku terjadi.

“Maafkan aku!” ujar Yoga

“Aku juga salah!”

Yoga mengantarku pulang ke kantor. Ketika mobil Yoga telah sampai di seberang kantorku, aku menoleh pada Yoga dan memandangnya dengan penuh keharuan

“Sampai ketemu lagi, terima kasih untuk tembang terindah dalam hidup kita” Ujarku. Setelah itu aku turun dan saat akan menutup pintu mobil, Yoga berkata

“Terima kasih juga untuk hari-hari terindah yang kita lewati bersama, Dinda!” Balas Yoga.

Yoga menatap mataku yang berlinang air mata dengan mata redup. Aku tahu, membutuhkan waktu yang lama untuk melupakan tatapan itu. Aku berusaha menahan perasaanku, kemudian menutup mobilnya, dan mengayunkan langkahku dengan tidak menoleh lagi.

Lalu mobil Yoga perlahan-lahan melaju. Aku merasa lelaki itumembawa juga sebagian hatiku, sebelah jiwaku, dan seluruh cintaku. Kini saatnya aku harus terjaga dari sebuah mimpi indah, mimpi indah itu harus berakhir! Aku sudah bertekat untuk kembali pada suami dan kedua anakku.

SELESAI (19 Juni 2013)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun