Mohon tunggu...
Idrus Bin Harun
Idrus Bin Harun Mohon Tunggu... lainnya -

Jama'ah Komunitas Kanot Bu.numpang di Bivak Emperom Banda Aceh\r\n\r\n\r\n\r\nhttp://www.idrusbinharun.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Guruku dan Atasannya

4 April 2011   16:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:07 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13019354302142867396

Saya bukanlah seorang guru saat ini, tapi saya sangat berhajat untuk berbakti dengan jalan menjadi seorang guru. Tapi alangkah menyedihkan ketika beranjak dewasa saya dapati kenyataan, kehidupan ekonomi seorang guru jauh lebih buruk dari keluarga saya yang hanya mengandalkan sepetak sawah buat makan. Belum lagi tetangga saya yang seorang guru ternyata untuk memenuhi nafsu konsumtifnya mengandalkan jasa tukang kredit. Menyedihkan, kata ayah saya. Maka ayah pun mewasiatkan saya untuk tidak sekali-sekali memilih profesi guru. Konon menurut ayah ia tidak ingin anaknya kelak menanggung dosa akibat melalaikan anak didik hanya untuk mencari uang tambahan dalam jam dinas.Ayah benar juga, temannya yang guru kerap meninggalkan anak didikketika cuaca laut tenang untuk mendapatkan uang tambahan. Ayah akhirnya menutup jalan bagi saya memasuki fakultas keguruan. Sial. Ayah bangga ketika saya memutuskan menjadi Tukang lukis spanduk. Luar biasa katanya, anaknya dekat-dekat dengan aktifitas seni. Dan tanpa mengandalkan siapa-siapa untuk menggaji diri sendiri. Dan mulai saat itu saya harus “ to say good bye” pada profesi yang teramat mulia tersebut. Sampai saat ini saya Memendam keinginan untuk dapat bercanda dengan anak didik.

Entahlah, walau tidak pernah mengecap nikmatnya bercanda anak-anak sekolah, saya bersyukur pernah mengenyam kenikmatan bersekolah. dengan segala fenomena dan dinamikanya.

Saya sebenarnya benci dengan hafalan, menghafal bentuk wajah orang. menghafal nama jalan atau menghafal nama-nama presiden. Entah kenapa, orang yang baru kemarin berjumpa dengan saya hari ini dengan mudah saya lupakan. lupa adalah kodrat manusia yang diberi kelemahan tersendiri oleh yang maha kuasa. bersebab hal tersebut itulah sampai sejauh ini belum begitu lancar menghafal perkalian.

Bagaimana pun juga, untuk hal-hal yang menimbulkan kesan mendalam yang saya alami akan terus tersimpan dengan baik dalam rak ingatan.

Dulu, kami menyebutnya penilik, kalau sekarang orang-orang menyebutnya pengawas mungkin. Entahlah, saya sangat terkesan dengan sang penilik itu. Maka dengarkan baik-baik cerita saya ini.

saya sudah lupa namanya, karena sudah berbilang tahun lewat. Tapi ciri–cirinya masih tergambar jelas di ingatan saja yang lemah ini. Perawakannya kecil, kulitnya hitam legam dan rambutnya sudah memutih semua. Maka peci hitam selalu setia nangkring di kepalanya. Khas angkatan pujangga baru, yang kita saksikan dalam film-film ber-setting era pra kemerdekaan. Taksiran saya waktu itu ia berumur kurang lebih 50 tahunan. Masa yang matang bagi seorang laki-laki. Berbagai pengalaman hidup telah dikantonginya, terus-terang saya tidak mengetahui seluk-beluk kehidupan pribadinya. Apakah ia seorang pahlawan pendidikan di kecamatan kami, atau pecundang. Yang saya ingat, ia rajin ‘patroli’ dari sekolah ke sekolah dalam lingkup area tugasnya. Itupun tingkat SD saja, yang hanya beberapa biji saja yang saya ketahui keberadaannya.

Sekolah yang ia kunjungi letaknya satu sama lain agak berjauhan, hingga perlu baginya satu unit sepada motor butut. Maka, tunggangannya sepeda motor Suzuki bebek tahun 70-an yang suaranya sudah sangat berisik, namun khas. Pada masa itu guru-guru SD kami sudah tampil dengan Honda Prima terbaru ( anda tentu ingat itu pasti akhir tahun 80-an ) dan itu mendominasi pelataran parkir sempit sekolah. Wah, betapa bangganya guru-guru kami dapat mencicil kredit sepeda motornya setiap bulan. Dengan gaji yang tidak seberapa banyak itu. Kami juga kagum dengan penampilan gagah guru kami, sehingga kami belajar dengan sangat rajin. Kata guru kami, biar seperti mereka pandai-pandai dan kalau sudah besar kelak mudah cari uang, maka kami punya idola masing-masing dengan guru.

Hmm … pada pagi suatu ketika;

Pak penilik yang rajin itu datang tiba-tiba tanpa sepeda motor. Tanpa sepengetahuan siapapun ia masuk kelas kami. Guru kami kaget. Mendadak wajahnya berubah tidak menentu. Tertawa tidak tersenyum tidak. Takut pun bukan. Hah … pak penilik mengambil alih PBM ( proses belajar mengajar ). Satu persatu kami ditanyai nama, alamat dan nama orang tua. Kemudian, dibuatlah soal matematika di papan tulis, sambil menahan napas. Saya seperti yang kuketahui memang kurang respek pada ‘pelajaran dari neraka’ itu. Dan berdoa agar tak ditunjuk untuk menyelesaikan soal tentang perkalian menurun dengan tiga jalur. “Duh … tuhan … ampunkan hamba yang bodoh ini,” batinku ketakutan. Sementara kelas senyap. Pak guru kami hanya mematung di sudut kelas bagian belakang sebelah kiri, dekat foto Ahmad Yani pahlawan kita itu. Akhirnya soal pertama jatuh ke tangan seorang anak perempuan bernama Hasnah yang memang jago eksakta. Nah … nomor 2 jatuh ke tangan si tolol ini. Aku berjalan sambil tertunduk lesu. Pikiranku kosong. Aku hanya ingat ibuku. Pulang ke rumah. Aku berjalan terus … dan wus … ss, “lariiiiiiii …,!!” teriakku keras. Aku berlari keluar tanpa lihat ke belakang lagi.

kira-kira sudah 50-an meter, kupalingkan wajah ke belakang. Kulihat temanku sekelas ikut berhamburan sambil berteriak keras, “Takuuuttt … toloooonnggg … ngg …ngg!!!”

.

5 Februari 2008 (dari pagi – malam)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun