Di sebuah desa kecil bernama Suka Maju, hidup seorang pemuda bernama Karim. Ia dikenal ramah, rajin datang ke masjid, bahkan sering mengingatkan orang lain tentang shalat. Di depan masyarakat, ia tampak sebagai sosok yang alim. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di balik senyum manisnya, ia menyimpan sebuah kemunafikan.
Karim sebenarnya tidak pernah benar-benar mengerjakan shalat dengan khusyuk. Sering kali ia hanya berdiri di saf depan agar dilihat orang, sementara hatinya kosong. Ketika sendirian, ia lalai, bahkan terkadang meninggalkan shalat.
Suatu sore, Karim duduk di warung kopi bersama sahabatnya, Fadil.
"Karim, tadi aku lihat kau jadi imam di masjid. Suaramu bagus sekali saat membaca surat Al-Fatihah," kata Fadil sambil menyeruput teh hangat.
Karim tersenyum bangga. "Ah, itu biasa saja. Tapi memang banyak orang yang bilang aku cocok jadi imam. Ya, mudah-mudahan Allah selalu ridha."
Fadil menatapnya dengan penuh arti. "Aku senang kalau kau bisa jadi teladan, Karim. Tapi aku ingin jujur... aku pernah dengar kabar kalau di rumah kau sering tidak shalat. Benarkah itu?"
Wajah Karim seketika berubah. Ia berusaha menutupi kegelisahannya. "Fadil, jangan percaya omongan orang. Mungkin ada yang iri padaku."
Namun dalam hati, Karim merasa tersengat. Benar, ada beberapa tetangga yang tahu kebiasaannya meninggalkan shalat ketika tidak terlihat orang lain. Ia merasa tidak nyaman, tapi gengsi membuatnya terus menutupi kelemahannya.
Malam itu, Karim berbaring di kamarnya. Suara adzan Isya dari masjid masih terngiang. Ia teringat pada khutbah Jumat beberapa hari lalu, ketika ustad berkata,Â
"Ciri orang munafik ada tiga yaitu apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila dipercaya ia berkhianat."
Karim memejamkan mata, namun hatinya gelisah. "Apakah aku termasuk munafik?" bisiknya lirih.
Hari berganti, hingga suatu waktu desa Suka Maju dilanda musibah banjir besar. Banyak rumah warga terendam, termasuk rumah Fadil. Warga bergotong-royong membantu korban, sementara Karim hanya sibuk menyelamatkan barang-barang berharganya sendiri. Ia lupa pada nasihat agama tentang tolong-menolong.
Di tengah kesibukan itu, Fadil datang kepadanya. "Karim, banyak orang butuh bantuan. Kenapa kau tidak ikut?"
Karim menjawab cepat, "Aku juga sibuk, Dil. Lagipula, bukankah sudah banyak orang lain yang membantu?"
Fadil menatapnya lekat-lekat. "Sahabatku, janganlah kita menjadi orang yang hanya peduli saat dilihat. Bukankah Allah lebih tahu isi hati kita?"
Ucapan itu menancap kuat di dada Karim. Malamnya, setelah banjir surut, ia termenung sendirian. Ia menyadari, selama ini dirinya hanya mencari pengakuan manusia, bukan ridha Allah. Air matanya menetes.
"Ya Allah, ampunilah aku. Aku takut Engkau mencatatku sebagai hamba-Mu yang munafik. Aku ingin berubah."
Sejak hari itu, Karim perlahan memperbaiki dirinya. Ia mulai shalat tepat waktu, baik di masjid maupun ketika sendirian. Ia membantu tetangga tanpa perlu menunggu orang lain melihatnya. Senyum di wajahnya bukan lagi topeng, melainkan cermin dari hati yang ikhlas.
Suatu sore, Fadil kembali menemuinya.
"Karim, aku lihat kau sering ikut kerja bakti belakangan ini. Senang sekali aku melihat perubahanmu."
Karim tersenyum. "Aku hanya berusaha belajar jujur pada diriku sendiri, Dil. Aku takut pada kemunafikan. Lebih baik aku dianggap biasa saja oleh manusia, asalkan aku benar di hadapan Allah."
Fadil menepuk bahunya. "Itulah jalan yang benar. Semoga kita selalu dijauhkan dari sifat munafik."
Karim menatap langit yang cerah sore itu. Hatinya terasa lebih ringan. Ia belajar satu hal berharga bahwa kemunafikan hanya memberi kesenangan sesaat, tetapi keikhlasan membawa ketenangan yang abadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI