Hari berganti, hingga suatu waktu desa Suka Maju dilanda musibah banjir besar. Banyak rumah warga terendam, termasuk rumah Fadil. Warga bergotong-royong membantu korban, sementara Karim hanya sibuk menyelamatkan barang-barang berharganya sendiri. Ia lupa pada nasihat agama tentang tolong-menolong.
Di tengah kesibukan itu, Fadil datang kepadanya. "Karim, banyak orang butuh bantuan. Kenapa kau tidak ikut?"
Karim menjawab cepat, "Aku juga sibuk, Dil. Lagipula, bukankah sudah banyak orang lain yang membantu?"
Fadil menatapnya lekat-lekat. "Sahabatku, janganlah kita menjadi orang yang hanya peduli saat dilihat. Bukankah Allah lebih tahu isi hati kita?"
Ucapan itu menancap kuat di dada Karim. Malamnya, setelah banjir surut, ia termenung sendirian. Ia menyadari, selama ini dirinya hanya mencari pengakuan manusia, bukan ridha Allah. Air matanya menetes.
"Ya Allah, ampunilah aku. Aku takut Engkau mencatatku sebagai hamba-Mu yang munafik. Aku ingin berubah."
Sejak hari itu, Karim perlahan memperbaiki dirinya. Ia mulai shalat tepat waktu, baik di masjid maupun ketika sendirian. Ia membantu tetangga tanpa perlu menunggu orang lain melihatnya. Senyum di wajahnya bukan lagi topeng, melainkan cermin dari hati yang ikhlas.
Suatu sore, Fadil kembali menemuinya.
"Karim, aku lihat kau sering ikut kerja bakti belakangan ini. Senang sekali aku melihat perubahanmu."
Karim tersenyum. "Aku hanya berusaha belajar jujur pada diriku sendiri, Dil. Aku takut pada kemunafikan. Lebih baik aku dianggap biasa saja oleh manusia, asalkan aku benar di hadapan Allah."
Fadil menepuk bahunya. "Itulah jalan yang benar. Semoga kita selalu dijauhkan dari sifat munafik."