Mohon tunggu...
Alya Zykratul Rahma
Alya Zykratul Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka menulis opini

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kebenaran dalam Genggaman

12 Oktober 2025   10:04 Diperbarui: 12 Oktober 2025   10:08 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan. (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan peringatan Rasulullah terhadap sikap tergesa-gesa dalam menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Seorang dapat tergolong berdusta ketika ia menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya. Hal ini bukan hanya soal cek fakta, tetapi juga cek hati. Sebelum melakukan, seseorang itu perlu memikirkan apakah informasi yang di sebarkannya akan tetap menjaga aspek kemanusiaan atau justru membuka luka baru bagi orang lain.

Aspek kebebasan (nahy al-munkar), adalah upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, penipuan, dan ketidakadilan informasi. Di era digital saat ini, kita sering menjadi korban peningkatan trafik yang menyebabkan kita mudah terprovokasi, sulit berpikir kritis, dan kerap menolak kebenaran hanya karena tidak sejalan dengan kelompok kita. Perlu di garis bawahi, bahwa kebebasan di sini bukan berarti bebas tanpa batas, tetapi bebas dari kebodohan dan manipulasi yang menyesatkan.

Aspek ketiga adalah transendensi (tu'minna billh), yaitu kesadaran bahwa segala bentuk komunikasi tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan sesuai ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kata-kata bukan sekadar ekspresi pribadi, tetapi juga amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah Swt. dalam QS. Qaf [50]: 18, yang berbunyi:


Latin:

M yalfiu min qaulin ill ladaihi raqbun 'atd(un).

Artinya:

Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (QS. Qaf [50]: 18)

Ayat ini mengandung pesan bahwa setiap unggahan, komentar, dan pesan yang kita tulis di dunia maya bukan hanya "jejak digital", tetapi juga "jejak spiritual". Transendensi menuntun kita untuk menjadikan aktivitas bermedia sebagai bagian dari ibadah. Seorang Muslim tidak hanya berhati-hati dalam memastikan informasi yang diterima, namun harus sadar juga bahwa menyebarkan kebohongan berarti mengkhianati amanah Allah Swt.

Dari nilai-nilai profetik tersebut, kita belajar bahwa komunikasi bukan sekadar berbagi informasi, tetapi juga tentang menjaga nilai kemanusiaan, kebebasan berpikir, dan kesadaran akan nilai-nilai spiritual. Ketiganya menjadi fondasi agar dunia digital tidak kehilangan arah moral. Sementara itu, dunia digital adalah cermin dari diri kita, apa yang kita tulis, bagikan, dan komentari bukan hanya membentuk opini publik, tetapi juga menunjukkan nilai keimanan kita. Seorang Muslim sejati tidak lomba menjadi yang paling cepat dalam menyebarkan informasi, melainkan yang paling berhati-hati dalam menjaga kebenaran. Jika setiap jari mampu dikendalikan oleh nurani, maka media sosial akan menjadi ladang pahala.

Solusi atas derasnya arus informasi bukanlah menolak perkembangan teknologi, melainkan membangun kesadaran moral di dalamnya. Umat Islam perlu menanamkan budaya literasi digital yang berlandaskan nilai-nilai Al-Qur'an. Dengan memverifikasi sebelum berbagi, menghormati sebelum berkomentar, dan bertanggung jawab atas setiap kata yang disebarkan. Dengan begitu, media sosial tidak lagi menjadi ruang yang menakutkan, tetapi tempat menyebarkan nilai kebaikan dan kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun