Mohon tunggu...
Alya Zykratul Rahma
Alya Zykratul Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka menulis opini

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kebenaran dalam Genggaman

12 Oktober 2025   10:04 Diperbarui: 12 Oktober 2025   10:08 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Tangan Menggenggam Handphone by Alya Zykratul Rahma

Era media sosial yang begitu massif di zaman sekarang serta derasnya arus informasi yang tak pernah berhenti mengalir, umat Islam dihadapkan pada tantangan serius dalam menyaring dan memverifikasi berita yang beredar. Dalam hitungan detik jutaan informasi dapat terkirim melalui WhatsApp, Twitter (X), Tiktok, hingga Instagram, namun tidak semua informasi tersebut mampu terverifikasi kebenarannya. Fenomena hoaks, ujaran kebencian, dan berita palsu menjadi masalah nyata sehingga mampu menimbulkan perpecahan serta kerugian sosial.

Menurut data temuan isu hoaks per kategori empat tahun terakhir (Januari 2018-Oktober 2021), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat sebanyak 9.151 jumlah konten/isu hoaks yang ditangani berasal dari berbagai situs web dan platform digital. Banyak informasi yang dipotong konteksnya, diperindah judulnya, bahkan dipelintir isinya demi mengejar popularitas, perhatian publik, dan meningkatkan jumlah klik pembaca (Trafik). Padahal, Islam sejak awal telah menanamkan nilai kehati-hatian dalam menyampaikan informasi. Namun sayangnya, prinsip ini kian pudar di tengah derasnya arus informasi digital.Fenomena ini bukan hanya masalah teknologi, namun termasuk kedalam masalah moral komunikasi. Saat ini kita dihadapkan dengan krisis nilai, di mana kecepatan penyampaian dianggap lebih penting daripada kebenaran, dan popularitas lebih diutamakan daripada tanggung jawab. Dalam konteks ini, Al-Qur'an telah jauh-jauh hari memberi panduan melalui QS. Al-Hujurat [49]: 6, yang berbunyi:


Latin:

 Y ayyuhal-lana man in j'akum fsiqum binaba'in fa tabayyan an tub qaumam bijahlatin fa tubi 'al m fa'altum ndimn(a).

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat [49]: 6)

Ayat diatas mengandung pesan abadi mengenai etika informasi, yaitu mengingatkan kita akan pentingnya berhati-hati dalam menerima berita, terlebih bila sumbernya dari pihak yang tidak dapat dipercaya (orang fasik). Jangan langsung percaya pada berita yang muncul, apalagi jika sumbernya tidak jelas atau meragukan. Kita di arahkan untuk melakukan verifikasi (tabayyun), mencari kebenaran, dan memahami konteks informasinya terlebih dahulu.

Nilai inilah yang menjadi inti dari konsep komunikasi profetik, yaitu komunikasi yang meneladani misi kenabian dengan pendekatan kemanusiaan (amar ma'ruf), kebebasan (nahy al-munkar), dan transendensi (tu'minuna billah) dalam bermedia maupun berinteraksi. Hal ini mendorong kita untuk selalu bersikap terbuka, tetapi juga berhati-hati sebelum mempercayai sebuah informasi. Artinya, kita tidak boleh langsung percaya begitu saja tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu.

Dalam konteks bermedia, aspek kemanusiaan (amar ma'ruf) berarti tidak merendahkan manusia. Dilakukan dengan cara menggunakan kata dan menyebarkan informasi yang saling menghormati manusia (tidak memfitnah/mencemarkan tanpa bukti). Ketika seseorang menyebarkan kebohongan tentang orang lain, ia sejatinya mencabut kehormatan saudaranya sendiri di hadapan publik. Padahal, Islam sangat menjunjung tinggi martabat manusia. Nabi Muhammad saw. bersabda;


Artinya:

Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan. (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan peringatan Rasulullah terhadap sikap tergesa-gesa dalam menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Seorang dapat tergolong berdusta ketika ia menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya. Hal ini bukan hanya soal cek fakta, tetapi juga cek hati. Sebelum melakukan, seseorang itu perlu memikirkan apakah informasi yang di sebarkannya akan tetap menjaga aspek kemanusiaan atau justru membuka luka baru bagi orang lain.

Aspek kebebasan (nahy al-munkar), adalah upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, penipuan, dan ketidakadilan informasi. Di era digital saat ini, kita sering menjadi korban peningkatan trafik yang menyebabkan kita mudah terprovokasi, sulit berpikir kritis, dan kerap menolak kebenaran hanya karena tidak sejalan dengan kelompok kita. Perlu di garis bawahi, bahwa kebebasan di sini bukan berarti bebas tanpa batas, tetapi bebas dari kebodohan dan manipulasi yang menyesatkan.

Aspek ketiga adalah transendensi (tu'minna billh), yaitu kesadaran bahwa segala bentuk komunikasi tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan sesuai ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kata-kata bukan sekadar ekspresi pribadi, tetapi juga amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah Swt. dalam QS. Qaf [50]: 18, yang berbunyi:


Latin:

M yalfiu min qaulin ill ladaihi raqbun 'atd(un).

Artinya:

Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (QS. Qaf [50]: 18)

Ayat ini mengandung pesan bahwa setiap unggahan, komentar, dan pesan yang kita tulis di dunia maya bukan hanya "jejak digital", tetapi juga "jejak spiritual". Transendensi menuntun kita untuk menjadikan aktivitas bermedia sebagai bagian dari ibadah. Seorang Muslim tidak hanya berhati-hati dalam memastikan informasi yang diterima, namun harus sadar juga bahwa menyebarkan kebohongan berarti mengkhianati amanah Allah Swt.

Dari nilai-nilai profetik tersebut, kita belajar bahwa komunikasi bukan sekadar berbagi informasi, tetapi juga tentang menjaga nilai kemanusiaan, kebebasan berpikir, dan kesadaran akan nilai-nilai spiritual. Ketiganya menjadi fondasi agar dunia digital tidak kehilangan arah moral. Sementara itu, dunia digital adalah cermin dari diri kita, apa yang kita tulis, bagikan, dan komentari bukan hanya membentuk opini publik, tetapi juga menunjukkan nilai keimanan kita. Seorang Muslim sejati tidak lomba menjadi yang paling cepat dalam menyebarkan informasi, melainkan yang paling berhati-hati dalam menjaga kebenaran. Jika setiap jari mampu dikendalikan oleh nurani, maka media sosial akan menjadi ladang pahala.

Solusi atas derasnya arus informasi bukanlah menolak perkembangan teknologi, melainkan membangun kesadaran moral di dalamnya. Umat Islam perlu menanamkan budaya literasi digital yang berlandaskan nilai-nilai Al-Qur'an. Dengan memverifikasi sebelum berbagi, menghormati sebelum berkomentar, dan bertanggung jawab atas setiap kata yang disebarkan. Dengan begitu, media sosial tidak lagi menjadi ruang yang menakutkan, tetapi tempat menyebarkan nilai kebaikan dan kebenaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun