Di kampung Karanganyar, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, berdiri sebuah usaha kecil menengah yang tak hanya mempertahankan warisan keluarga, tetapi juga menghidupkan ekonomi masyarakat sekitar. Kendra Sabilulungan, sebuah unit usaha tenun sutra, merupakan buah kerja keras dan semangat gotong royong yang telah diwariskan sejak tahun 1978. Usaha ini dimulai oleh orang tua dari Bapak Kendra, yang kala itu memfokuskan diri pada budidaya ulat sutra.Â
Kini, usaha tersebut telah berkembang menjadi produsen kain tenun sutra berkualitas tinggi yang sudah dipasarkan hingga ke berbagai kota besar di Indonesia.
Awal Mula dan Filosofi Sabilulungan
Proses Produksi: Dari Daun Murbei hingga Kain Berkualitas
Produksi kain tenun sutra di Kendra Sabilulungan dimulai dari budidaya ulat sutra. Ulat-ulat ini diberi pakan daun murbei yang kaya akan protein, menjadikannya sumber makanan esensial. Budidaya dilakukan secara berkala, biasanya satu siklus per bulan. Ulat berkembang menjadi kepompong atau kokon yang kemudian dipanen dan diproses menggunakan alat bernama seriflame. Kokon direbus dalam calostrat hingga menghasilkan benang sepanjang 900 meter. Ketebalan benang bisa mencapai 2%, tergantung dari kualitas makanan yang diberikan selama proses pemeliharaan.
Setelah menjadi benang, proses berlanjut ke tahap penenunan. Di sinilah benang-benang halus itu diolah menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) hingga menjadi kain berkualitas. Dalam satu hari, dua potong kain bulu bisa diselesaikan, sementara kain sulam membutuhkan waktu dua hari per potong. Pembuatan kain ini tidak hanya membutuhkan keterampilan, tapi juga ketelatenan dan kesabaran.
Produk dan Ciri Khas
Ciri khas kain Sabilulungan terletak pada kain tenun sutra motif daun murbei dan daun kaliki, yang dahulu menjadi pakan ulat sutra. Walau kini daun kaliki tidak lagi digunakan, motif yang terinspirasi darinya tetap menjadi simbol sejarah dan kesinambungan budaya.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemasaran: Dari Manual ke Nasional
Walaupun terletak di daerah terpencil dan minim dukungan teknologi, produk Kendra Sabilulungan telah menjangkau berbagai kota besar seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pemasaran masih dilakukan secara manual melalui WhatsApp, dari mulut ke mulut, atau langsung dibawa oleh Kendra saat bepergian ke luar kota. Tidak sedikit pejabat daerah yang membeli tenun dari usaha ini, menunjukkan kepercayaan dan apresiasi terhadap kualitas produknya.
Sayangnya, keterbatasan dalam pemasaran digital menjadi tantangan utama. Kendra menyadari pentingnya media sosial, namun keterbatasan SDM dan akses teknologi menjadi hambatan besar. "Di sini banyak pengrajin, tapi belum jadi pengusaha," ujarnya. Karena itu, ia berupaya membentuk kelompok dan komunitas agar bisa bangkit bersama.
Manajemen dan Tantangan Pasca Pandemi
Pandemi COVID-19 sempat melumpuhkan banyak sektor usaha, termasuk tenun sutra. Namun, Kendra Sabilulungan tetap bertahan karena masih ada pesanan yang masuk. Salah satu kunci keberlangsungan adalah sistem pembayaran dengan DP minimal 50%, yang digunakan untuk operasional dan pembelian bahan baku. Tantangan lain yang dihadapi adalah regenerasi tenaga kerja. Tukang-tukang yang dulu andal kini sudah tua, sementara SDM muda masih perlu banyak pelatihan. Manajemen dan modal menjadi titik krusial, meski pasar sebenarnya cukup menjanjikan.
Dari Koperasi ke Swadaya
Pada masa jayanya, usaha tenun sutra ini sempat memiliki dukungan koperasi dan bantuan dari pemerintah, terutama pada era krisis moneter 1998. Petani murbei mendapat dana hibah hingga Rp4,7 juta per hektar, dan hasil panen dijual ke koperasi dengan sistem bagi hasil. Namun sejak 2004, koperasi bangkrut karena pasar lesu. Sejak 2008, usaha dijalankan secara individu hingga akhirnya mulai bangkit kembali pada 2017 melalui pembentukan kelompok baru.
Kesimpulan
Kendra Sabilulungan bukan sekadar usaha tenun sutra, melainkan wujud nyata dari warisan keluarga, semangat gotong royong, dan pemberdayaan masyarakat desa. Berawal dari budidaya ulat sutra dan pohon murbei, usaha ini berhasil menciptakan produk tenun berkualitas tinggi yang dikenal hingga ke berbagai penjuru Indonesia. Meski menghadapi berbagai tantangan seperti keterbatasan teknologi, regenerasi SDM, dan keterbatasan modal, Kendra tetap bertahan dengan sistem kerja yang fleksibel dan berbasis kepercayaan. Dengan filosofi "Sabilulungan", usaha ini menunjukkan bahwa kolaborasi dan semangat kebersamaan dapat menjadi fondasi kokoh dalam membangun UMKM yang berkelanjutan dan berdampak luas bagi komunitas lokal. Dengan semangat Sabilulungan; kebersamaan dan gotong royong—usaha ini terus berkembang, bukan hanya sebagai produsen kain, tetapi juga sebagai penggerak roda ekonomi desa. Kendra Sabilulungan adalah bukti bahwa dari desa terpencil pun bisa lahir karya besar yang menginspirasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI