Mohon tunggu...
Carissa Clein Patra
Carissa Clein Patra Mohon Tunggu... Pelajar

Berlayar dalam Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Topeng di Balik Cermin

25 September 2025   21:34 Diperbarui: 25 September 2025   22:46 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kota kecil yang hiruk-pikuknya dibalut doa dari pengeras masjid, hiduplah seorang lelaki bernama Surya. Ia dikenal sebagai sosok bersahaja. Tutur katanya manis bagai madu yang baru dipanen, senyumnya ramah seperti matahari pagi yang mengusap pucuk-pucuk daun. Di hadapan orang banyak, Surya adalah figur panutan. Jubah putih yang ia kenakan setiap Jumat seakan jadi lambang kesucian yang melekat pada dirinya.

Namun, kota kecil itu tak pernah benar-benar tahu. Jubah putih itu hanyalah kain yang menutupi noda hitam di dadanya. Di balik pintu rumah yang terkunci rapat, Surya bukanlah mentari, melainkan malam kelam yang menelan cahaya.

Ia sering melafalkan doa panjang di hadapan jamaah, namun lidah yang sama juga kerap melontarkan janji palsu kepada istrinya, Ratna. Tangan yang gemetar saat menggenggam tasbih adalah tangan yang sama yang meraba kartu judi dan meneguk arak.

Ratna hanya diam, seakan kesabarannya adalah lautan tanpa pantai. Ia tahu, suaminya memakai topeng tebal bernama munafik. Namun, siapa yang berani mengungkapnya, ketika semua tetangga menjadikan Surya teladan?

Suatu hari, seorang pengemis tua datang mengetuk pintu masjid setelah salat Magrib. Pakaian lusuhnya seperti kain perca yang tak lagi bernilai, wajahnya keriput seperti kertas kusam yang hampir sobek. Surya, yang kala itu berdiri di mimbar, dengan suara lantang berkata, “Siapa yang memberi, Allah akan melipatgandakan rezekinya.”

Orang-orang pun merogoh saku, meletakkan beberapa lembar uang ke tangan si pengemis. Namun, Surya hanya memberi sekeping receh, meski ia tahu di saku bajunya terselip uang hasil judi malam sebelumnya. Jamaah memandangnya dengan kagum, seakan tindakan itu sudah cukup mulia.

Pengemis itu menatap Surya, tatapannya bukan sekadar rasa syukur, melainkan cermin yang menyingkap isi hati. “Tuan,” katanya lirih, “jangan biarkan cahaya padam hanya karena engkau menyalakan api di balik bayangan.”

Ucapan itu menusuk seperti pisau tipis yang menggores urat nadi Surya. Ia tersenyum hambar, lalu berbalik meninggalkan pengemis. Namun sepanjang jalan pulang, kata-kata itu bergema di kepalanya.

Malam itu, ketika Surya berdiri di depan cermin, ia melihat sesuatu yang tak biasa. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan jubah putih yang ia gantung di sudut kamar tampak ternoda, meski ia tahu ia baru saja mencucinya. Bayangan dalam cermin seolah berbisik, “Berapa lama lagi kau ingin hidup dengan dua wajah?”

Hari-hari berikutnya, Surya mulai kehilangan kendali. Kotbahnya tak lagi lantang, suaranya kerap tersendat. Jamaah mulai bertanya-tanya, meski belum ada yang berani menuduh. Ratna semakin sering diam, matanya menyimpan duka yang tak terucapkan.

Suatu malam, Surya bermimpi. Ia berdiri di tengah padang pasir luas, haus tak terperikan. Di kejauhan, ia melihat sebuah sumur jernih. Ia berlari, tapi setiap kali hendak meraih air, sumur itu menghilang, digantikan oleh kobaran api. Dari balik api, muncul wajah pengemis tua itu, dan berkata, “Ketika mulutmu memuji Tuhan, tapi hatimu memeluk setan, maka kau hanya sedang menipu dirimu sendiri.”

Surya terbangun dengan keringat dingin. Dadanya sesak, seakan ada beban berat menghimpit. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar telanjang, tanpa jubah, tanpa topeng.

Malam itu, ia menatap cermin lebih lama dari biasanya. Dari sana, ia melihat bukan dirinya, melainkan bayangan hitam yang tertawa pelan. Nafasnya tersengal, dada berdegup bagai genderang perang. Ia merasa seakan sedang berdiri di hadapan hakim agung yang tak bisa ia tipu dengan senyum atau doa palsu.

“Cukup!” teriak Surya pada bayangan itu. Air mata mengalir, deras seperti hujan yang meruntuhkan dinding kering. Tangannya meraih botol arak, lalu membantingnya hingga pecah berserakan. Kaca dan cairan memantulkan cahaya lampu redup, seakan simbol kehancuran topeng yang selama ini ia kenakan.

Ratna terbangun, berlari menghampiri. Di wajahnya tersirat kaget bercampur ragu, seolah ia melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Seorang Surya yang menangis, bukan Surya yang berpidato. “Aku penipu, Ratna,” ucap Surya dengan suara parau. “Aku menodai doa-doaku sendiri. Aku hidup di dua dunia, dan aku hampir kehilangan segalanya. Maafkan aku.”

Ratna tak segera menjawab. Ia hanya menatap suaminya yang jatuh tersungkur di lantai, lalu dengan perlahan menggenggam tangannya. “Kesalahanmu memang besar, Surya. Tapi jalan pulang masih terbuka, selama kau benar-benar ingin kembali.”

Sejak malam itu, Surya berhenti mengumbar doa panjang demi tepuk tangan. Ia belajar menunduk, merapikan hidupnya setahap demi setahap. Tak lagi singgah di meja judi, tak lagi bersahabat dengan arak. Ia tak lagi haus akan pandangan manusia, melainkan mencari ridha Tuhannya.

Dan ketika kembali berdiri di mimbar, suaranya tak lagi melambung tinggi, tapi tenang dan jujur, seperti mata air yang mengalir dari hulu. Ia berkata kepada jamaah, “Saudara-saudaraku, jangan biarkan diri kita memakai topeng. Cahaya kebaikan akan padam jika kita sembunyikan di balik bayangan. Jadilah jujur pada diri sendiri, karena hanya kejujuran yang mampu menuntun kita pulang.”

Jamaah terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa hidup. Karena kali ini lahir dari hati yang benar-benar sadar, bukan dari lidah yang pandai bersembunyi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun