Surya terbangun dengan keringat dingin. Dadanya sesak, seakan ada beban berat menghimpit. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar telanjang, tanpa jubah, tanpa topeng.
Malam itu, ia menatap cermin lebih lama dari biasanya. Dari sana, ia melihat bukan dirinya, melainkan bayangan hitam yang tertawa pelan. Nafasnya tersengal, dada berdegup bagai genderang perang. Ia merasa seakan sedang berdiri di hadapan hakim agung yang tak bisa ia tipu dengan senyum atau doa palsu.
“Cukup!” teriak Surya pada bayangan itu. Air mata mengalir, deras seperti hujan yang meruntuhkan dinding kering. Tangannya meraih botol arak, lalu membantingnya hingga pecah berserakan. Kaca dan cairan memantulkan cahaya lampu redup, seakan simbol kehancuran topeng yang selama ini ia kenakan.
Ratna terbangun, berlari menghampiri. Di wajahnya tersirat kaget bercampur ragu, seolah ia melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Seorang Surya yang menangis, bukan Surya yang berpidato. “Aku penipu, Ratna,” ucap Surya dengan suara parau. “Aku menodai doa-doaku sendiri. Aku hidup di dua dunia, dan aku hampir kehilangan segalanya. Maafkan aku.”
Ratna tak segera menjawab. Ia hanya menatap suaminya yang jatuh tersungkur di lantai, lalu dengan perlahan menggenggam tangannya. “Kesalahanmu memang besar, Surya. Tapi jalan pulang masih terbuka, selama kau benar-benar ingin kembali.”
Sejak malam itu, Surya berhenti mengumbar doa panjang demi tepuk tangan. Ia belajar menunduk, merapikan hidupnya setahap demi setahap. Tak lagi singgah di meja judi, tak lagi bersahabat dengan arak. Ia tak lagi haus akan pandangan manusia, melainkan mencari ridha Tuhannya.
Dan ketika kembali berdiri di mimbar, suaranya tak lagi melambung tinggi, tapi tenang dan jujur, seperti mata air yang mengalir dari hulu. Ia berkata kepada jamaah, “Saudara-saudaraku, jangan biarkan diri kita memakai topeng. Cahaya kebaikan akan padam jika kita sembunyikan di balik bayangan. Jadilah jujur pada diri sendiri, karena hanya kejujuran yang mampu menuntun kita pulang.”
Jamaah terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa hidup. Karena kali ini lahir dari hati yang benar-benar sadar, bukan dari lidah yang pandai bersembunyi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI