Oleh: I Gede Jordhi Bagus Saputra, Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Ganesha
Pernah dengar ungkapan "kabur aja dulu"? Sebagian besar generasi muda zaman sekarang, seruan itu bukan hanya lawakan atau gurauan belaka. Itu adalah bentuk pelarian dari kenyataan yang bikin pusing kepala. Mau itu tugas kuliah yang numpuk, keluarga yang penuh tekanan, relasi yang rumit, atau masa depan yang terasa kabur, semua bikin kita ingin lari. Tapi lari ke mana?
Ungkapan ini memang terdengar lucu. Tapi kalau kita gali lebih dalam, ini adalah gejala dari masalah besar yang sedang terjadi: kesehatan mental generasi muda Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Kenapa Ini Jadi Masalah Serius?
Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2023, sekitar 1 dari 3 remaja di Indonesia mengalami gejala kecemasan, stres berat, hingga depresi. Tapi sayangnya, banyak yang tidak tahu harus cerita ke siapa, dan lebih banyak lagi yang takut dianggap "lemah" kalau bicara soal perasaannya.
Berbicara mengenai mental health masih dianggap tabu. Banyak yang memilih diam, pura-pura kuat, atau menertawakan luka sendiri lewat meme dan candaan. Tapi luka yang didiamkan terlalu lama bisa berubah jadi bahaya. Banyak kasus gangguan mental yang tak tertangani berujung pada putus sekolah, konflik keluarga, bahkan keinginan mengakhiri hidup.
Masalah mental itu kayak gunung es. Di permukaan, terlihat biasa. Tapi di dalam, bisa membahayakan. Ketika generasi muda lebih memilih menghindar daripada menghadapi masalah, kita kehilangan potensi besar. Kalau dibiarkan, ini bukan cuma soal individu, tapi bisa jadi bom waktu sosial.
Kita butuh tempat aman, ruang bicara, dan sistem yang benar-benar peduli. Bukan cuma disuruh "sabar" atau "sholat aja dulu", tapi didengarkan dan dibantu secara nyata.
Saatnya Nilai-Nilai Pancasila Turun Gunung
Pancasila sering dibahas dalam kelas-kelas PPKn atau upacara hari Senin. Tapi jarang yang benar-benar membumikannya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, justru di tengah masalah seperti ini, Pancasila bisa jadi penolong. Misalnya:
- Ketuhanan yang Maha Esa Kita semua butuh pegangan, tapi juga butuh ruang spiritual yang menenangkan, bukan menakut-nakuti. Sila ini mengajarkan pentingnya harapan, ketenangan batin, dan kepercayaan bahwa hidup ini punya makna, tapi juga mengajak kita untuk tidak menghakimi orang yang sedang kehilangan arah.
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Mengakui bahwa mental health itu hak semua orang, bukan aib. Semua orang punya hak atas kesehatan mental yang layak. Tidak boleh ada diskriminasi, apalagi menyebut penderita gangguan mental sebagai "orang gila".
- Persatuan Indonesia Ayo bangun lingkungan yang saling dukung, bukan saling menghakimi. Lingkungan sosial yang suportif akan membuat orang merasa diterima. Tidak ada lagi perundungan, ejekan, atau tekanan sosial yang memperparah kondisi mental.
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Pemerintah wajib dengerin suara anak muda soal masalah ini. Misalnya dengan membuat kebijakan yang melibatkan suara anak muda, karena mereka yang paling tahu apa yang mereka butuhkan.
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Semua orang, dari kota sampai desa, harus bisa akses bantuan psikologis yang layak. Layanan konseling dan edukasi mental harus tersedia di seluruh Indonesia, tidak hanya di kota besar atau sekolah elit.