Mohon tunggu...
Ahmad Budi Febriansyah
Ahmad Budi Febriansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Jika Sejarah tidak diruwat ya dirawat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejarah Resmi 2025: Ancaman Krisis Nalar Kritis Pelajar Indonesia

18 Juli 2025   01:30 Diperbarui: 19 Juli 2025   00:18 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CP Sejarah secara fundamental menuntut peserta didik untuk "menganalisis keberlanjutan dan perubahan" dalam peristiwa sejarah. Ini mencakup pemahaman tentang bagaimana masa lalu membentuk masa kini, bagaimana masyarakat beradaptasi atau menolak perubahan, dan bagaimana konflik serta ketegangan juga merupakan bagian integral dari proses sejarah.

Namun, arahan dalam draf penulisan sejarah 2025 untuk "menghindari hal-hal yang bersifat kontroversial pada periode kontemporer" (khususnya Jilid 10 yang mencakup Era Reformasi hingga pelantikan presiden terbaru) dapat menjadi hambatan signifikan. Banyak perubahan dan keberlanjutan dalam sejarah, terutama di era modern, seringkali dipicu oleh konflik, perselisihan, atau ketegangan sosial dan politik. Jika bagian-bagian kontroversial ini dihindari atau dihaluskan, peserta didik tidak akan memahami akar masalah, kompleksitas dinamika kekuasaan, atau bagaimana masyarakat berjuang untuk perubahan. Misalnya, jika konflik yang terjadi di era Reformasi atau masalah pelanggaran HAM tidak dibahas secara jujur, peserta didik tidak akan mengerti sepenuhnya mengapa peristiwa tersebut terjadi dan bagaimana dampaknya membentuk Indonesia saat ini.

Perubahan sosial, politik, dan ekonomi seringkali merupakan hasil dari tarik-menarik kekuatan, ideologi yang bertentangan, atau perjuangan dari berbagai pihak. Jika narasi sejarah cenderung menghadirkan perubahan sebagai proses yang mulus atau sebagai hasil semata dari keputusan pemimpin yang "bijaksana" (bentuk glorifikasi terselubung), peserta didik tidak akan memahami mekanisme perubahan yang sesungguhnya. Mereka tidak akan melihat bahwa perubahan juga bisa datang dari bawah, dari gerakan sosial, atau dari perlawanan terhadap status quo.

Sejarah seringkali menunjukkan bahwa konflik tertentu tidak berakhir begitu saja, tetapi terus berlanjut dalam bentuk dan intensitas yang berbeda (kontinuitas dalam konflik). Jika aspek ini ditiadakan demi menjaga narasi yang "tidak kontroversial", peserta didik akan kehilangan pelajaran penting tentang bagaimana trauma sejarah, ketidakadilan, atau isu-isu yang belum terselesaikan dapat terus memengaruhi masyarakat hingga saat ini. Ini juga dapat menghambat pemahaman tentang pentingnya rekonsiliasi dan penyelesaian masalah yang belum tuntas.

Konflik seringkali mengungkapkan sisi-sisi kompleks dari karakter tokoh atau institusi. Jika sejarah hanya menunjukkan "fakta keras" yang mendukung narasi positif dan menghindari kontroversi, peserta didik akan mendapatkan gambaran yang satu dimensi tentang tokoh-tokoh penting dan peran institusi. Hal ini menghambat pemahaman mereka tentang kompleksitas moral dan pilihan sulit yang seringkali dihadapi dalam sejarah.

Pembentukan Kesadaran Sejarah dan Identitas Nasional yang Terarah

Capaian Pembelajaran Sejarah menargetkan peserta didik untuk "membangun kesadaran sejarah sebagai bagian dari identitas bangsanya". Tujuan ini adalah fundamental, karena sejarah memang menjadi fondasi pembentukan identitas kolektif. Namun, cara pembentukan kesadaran ini sangat krusial. Jika ada indikasi glorifikasi dan hegemoni, kesadaran sejarah yang terbentuk bisa menjadi "terarah" (direkayasa) untuk melayani agenda tertentu.

Tujuan untuk "meningkatkan rasa kebangsaan (nasionalisme) dan cinta tanah air" serta penonjolan "peran orang Indonesia" jika dilakukan tanpa kritik yang memadai, dapat menghasilkan nasionalisme yang cenderung eksklusif atau triumfalis. Nasionalisme semacam ini bisa mengabaikan kontribusi pihak lain (misalnya, etnis minoritas, peran non-pribumi, atau bantuan internasional) dan cenderung meremehkan kritik internal terhadap bangsa.

Kesadaran sejarah yang terarah, yang hanya berfokus pada pencapaian dan hal-hal positif (glorifikasi), akan menghasilkan identitas nasional yang tidak reflektif. Peserta didik mungkin tidak akan belajar dari kesalahan masa lalu atau menghadapi bagian-bagian kelam dari sejarah bangsanya. Ini menghambat pembentukan identitas yang matang, yang mampu mengakui baik kekuatan maupun kelemahan, keberhasilan maupun kegagalan.

Jika narasi sejarah dikontrol oleh pemerintah, ada risiko kuat bahwa sejarah akan menjadi alat indoktrinasi ideologi tertentu yang menjadi dasar rezim yang berkuasa. Meskipun dokumen menyebutkan Pancasila sebagai panduan, interpretasi Pancasila itu sendiri dapat berbeda-beda. Jika satu interpretasi dominan dipaksakan melalui sejarah resmi, ini dapat membatasi pemikiran bebas dan kritis tentang ideologi negara.

Meskipun tujuan utamanya adalah menyatukan, jika narasi resmi menekan atau mengabaikan sejarah kelompok-kelompok tertentu (misalnya, korban pelanggaran HAM, kelompok adat, atau identitas regional yang kuat), hal ini justru dapat menciptakan fragmentasi memori kolektif. Kelompok-kelompok ini mungkin merasa bahwa sejarah mereka tidak diakui atau bahkan disensor, sehingga mengurangi rasa memiliki mereka terhadap narasi nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun