CP secara jelas mendorong pemahaman tentang "berbagai perspektif". Jika buku resmi cenderung menghegemoni satu perspektif (misalnya, perspektif pemerintah pusat, atau perspektif kelompok mayoritas), maka perspektif minoritas, kelompok yang terpinggirkan, atau suara-suara disiden dari masa lalu mungkin akan terpinggirkan atau bahkan dihilangkan. Ini akan membuat peserta didik gagal memahami kekayaan dan pluralitas pengalaman sejarah bangsa, sehingga membentuk pandangan yang sempit dan kurang inklusif. Mereka tidak akan belajar bagaimana sejarah dapat dilihat dari berbagai lensa, yang merupakan keterampilan esensial dalam dunia yang semakin kompleks.
Jika guru dan peserta didik didorong untuk menerima narasi resmi tanpa pertanyaan, ini dapat menumbuhkan iklim dogmatisme dalam pembelajaran sejarah. Sejarah akan dipandang sebagai sekumpulan fakta yang harus dihafalkan, bukan sebagai bidang studi yang dinamis, terbuka untuk interpretasi, dan terus-menerus diperdebatkan berdasarkan bukti-bukti baru. Ini pada akhirnya akan membunuh minat peserta didik terhadap sejarah sebagai disiplin ilmu yang menarik dan relevan.
Pembatasan dalam Mengevaluasi dan Menganalisis Informasi dari Berbagai Sumber
Capaian Pembelajaran (CP) Mata Pelajaran Sejarah Fase E (Kelas X) secara eksplisit menuntut peserta didik untuk "mampu mencari, mengolah, menganalisis dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber" serta "membandingkan berbagai perspektif". Selanjutnya, pada Fase F (Kelas XI-XII), peserta didik dituntut untuk "mengevaluasi dan merefleksikan berbagai perspektif dalam sejarah". Tujuan inti dari CP ini adalah membentuk peserta didik yang tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga aktif mengolah, menguji, dan membandingkannya dengan pandangan lain. Ini adalah esensi dari keterampilan berpikir kritis dalam ilmu sejarah.
Namun, jika proyek penulisan ulang sejarah 2025 diarahkan untuk menciptakan "buku resmi (official history)" yang menjadi satu-satunya rujukan utama dan didukung penuh oleh pemerintah, potensi pembatasan ini menjadi sangat nyata. Ketika pemerintah secara dominan menetapkan satu versi sejarah sebagai "standar ilmiah" atau "resmi", hal ini secara implisit dapat mendevaluasi atau bahkan mendiskreditkan sumber-sumber lain atau interpretasi alternatif yang tidak sejalan.
Peserta didik, dan bahkan guru, mungkin akan diarahkan untuk secara primer merujuk pada buku sejarah resmi ini. Ini akan mengurangi inisiatif untuk mencari dan menggali informasi dari sumber-sumber primer (arsip, memoar, surat kabar kontemporer) atau karya-karya historiografi lain yang mungkin menyajikan narasi berbeda. Proses pembelajaran berisiko menjadi bersifat satu arah: dari buku resmi ke peserta didik, bukan dari berbagai sumber ke analisis peserta didik.
Kemampuan menganalisis informasi memerlukan perbandingan, identifikasi bias, dan pengujian bukti. Jika buku sejarah resmi telah "menyaring" atau "memurnikan" narasi untuk menghilangkan kontroversi atau glorifikasi, peserta didik tidak akan terbiasa menghadapi kompleksitas, ambiguitas, atau bahkan kontradiksi dalam data sejarah. Mereka tidak akan terlatih untuk mengidentifikasi mengapa ada perbedaan interpretasi atau bagaimana sudut pandang tertentu dapat memengaruhi narasi. Sebagai contoh, jika peran tokoh tertentu diglorifikasi tanpa menyebutkan sisi kelamnya atau kritik terhadapnya, peserta didik kehilangan kesempatan untuk menganalisis karakter dan keputusan secara multidimensional.
CP secara jelas mendorong pemahaman tentang "berbagai perspektif". Jika buku resmi cenderung menghegemoni satu perspektif (misalnya, perspektif pemerintah pusat atau perspektif kelompok mayoritas), maka perspektif minoritas, kelompok yang terpinggirkan, atau suara-suara disiden dari masa lalu mungkin akan terpinggirkan atau bahkan dihilangkan. Ini akan membuat peserta didik gagal memahami kekayaan dan pluralitas pengalaman sejarah bangsa, sehingga membentuk pandangan yang sempit dan kurang inklusif. Mereka tidak akan belajar bagaimana sejarah dapat dilihat dari berbagai lensa, yang merupakan keterampilan esensial dalam dunia yang semakin kompleks.
Jika guru dan peserta didik didorong untuk menerima narasi resmi tanpa pertanyaan, hal ini dapat menumbuhkan iklim dogmatisme dalam pembelajaran sejarah. Sejarah akan dipandang sebagai sekumpulan fakta yang harus dihafalkan, bukan sebagai bidang studi yang dinamis, terbuka untuk interpretasi, dan terus-menerus diperdebatkan berdasarkan bukti-bukti baru. Ini pada akhirnya akan membunuh minat peserta didik terhadap sejarah sebagai disiplin ilmu yang menarik dan relevan.
Hambatan terhadap Pemahaman Keberlanjutan dan Perubahan