Proyek penulisan ulang Sejarah Resmi 2025 yang diinisiasi oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon merupakan upaya ambisius untuk merevisi dan memperbarui narasi sejarah bangsa. Namun, seperti yang tersirat dalam Draft Penulisan Sejarah Resmi Indonesia 2025, proyek ini berpotensi kuat untuk menghegemoni, mengontrol narasi, legitimasi kekuasaan dan melakukan glorifikasi. Indikasi ini terlihat dari penetapan buku resmi sebagai "official history", penekanan pada standar ilmiah yang bisa menjadi alat kontrol, arahan untuk menghindari isu kontroversial di periode kontemporer, serta tujuan eksplisit untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan menonjolkan peran positif Indonesia.
Di sisi lain, Capaian Pembelajaran (CP) Mata Pelajaran Sejarah Fase E (Kelas X) dan Fase F (Kelas XI-XII) yang tertuang dalam Permendikbud NOMOR 032/H/KR/2024 memiliki tujuan yang jauh lebih progresif. CP ini berupaya membentuk peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir historis, kritis, analitis, reflektif, empati, dan kolaboratif. Lebih lanjut, CP ini mendorong mereka untuk mampu mengevaluasi informasi dari beragam sumber, memahami keberlanjutan dan perubahan, serta membangun kesadaran sejarah dan identitas nasional yang utuh.
Penting untuk mencermati relevansi pemikiran para ahli pendidikan dalam konteks ini. Paulo Freire, misalnya, mengkritik model pendidikan yang menempatkan siswa sebagai wadah pasif yang hanya diisi pengetahuan oleh guru. Menurutnya, model seperti ini bersifat menindas, tidak memanusiakan, dan menghasilkan kepatuhan. Freire justru mengusulkan pendidikan dialogis, di mana guru dan siswa berinteraksi sebagai subjek, bersama-sama menyelidiki realitas dan masalah. Tujuannya adalah membangkitkan "kesadaran kritis" (conscientization) agar individu mampu memahami akar penindasan dan bertindak untuk mengubah dunia mereka. Bagi Freire, pendidikan adalah praktik kebebasan, bukan domestikasi.
Senada dengan Freire, Martha C. Nussbaum juga menyuarakan kekhawatiran terhadap tren global yang cenderung mereduksi pendidikan menjadi sekadar alat untuk pertumbuhan ekonomi dan kompetisi pasar. Ia berpendapat bahwa fokus sempit ini mengabaikan tujuan yang lebih fundamental, yaitu mendidik warga negara yang utuh. Nussbaum menekankan vitalnya humaniora (seni, sastra, filsafat, sejarah) untuk mengembangkan pemikiran kritis, kemampuan berargumen dan mempertanyakan otoritas, serta menolak tradisi buta. Baginya, tujuan pendidikan adalah membentuk warga negara yang bertanggung jawab, mampu berempati terhadap sesama (termasuk yang berbeda budaya dan latar belakang), dan sanggup berkolaborasi lintas batas untuk memecahkan masalah global.
Dengan demikian, jika indikasi hegemoni, kontrol narasi, dan glorifikasi benar-benar mendominasi implementasi buku sejarah resmi ini, maka akan terjadi konflik substansial dan hambatan serius dalam pencapaian CP Mata Pelajaran Sejarah. Pembatasan dalam mengevaluasi dan menganalisis informasi dari berbagai sumber, hambatan terhadap pemahaman keberlanjutan dan perubahan, serta pembentukan kesadaran sejarah dan identitas nasional yang terarah akan secara signifikan memengaruhi kemampuan reflektif dan empati peserta didik, jauh dari cita-cita pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan.
Pembatasan dalam Mengevaluasi dan Menganalisis Informasi dari Berbagai Sumber
Capaian Pembelajaran Mata Pelajaran Sejarah Fase E secara eksplisit menyatakan bahwa peserta didik harus "mampu mencari, mengolah, menganalisis dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber" serta "membandingkan berbagai perspektif". Lebih lanjut, pada Fase F, peserta didik dituntut untuk "mengevaluasi dan merefleksikan berbagai perspektif dalam sejarah". Tujuan inti dari capaian ini adalah membentuk peserta didik yang tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi aktif mengolahnya, mengujinya, dan membandingkannya dengan pandangan lain. Ini adalah inti dari keterampilan berpikir kritis dalam ilmu sejarah.
Namun, jika proyek penulisan ulang sejarah 2025 diarahkan untuk menciptakan "buku resmi (official history)" yang menjadi satu-satunya rujukan utama dan didukung penuh oleh pemerintah, potensi pembatasan ini menjadi sangat nyata. Ketika pemerintah secara dominan menetapkan satu versi sejarah sebagai "standar ilmiah" atau "resmi", hal ini secara implisit dapat mendevaluasi atau bahkan mendiskreditkan sumber-sumber lain atau interpretasi alternatif yang tidak sejalan.
Peserta didik, dan bahkan guru, mungkin akan diarahkan untuk secara primer merujuk pada buku sejarah resmi ini, mengurangi inisiatif untuk mencari dan menggali informasi dari sumber-sumber primer (arsip, memoar, surat kabar kontemporer) atau karya-karya historiografi lain yang mungkin menyajikan narasi berbeda. Proses pembelajaran bisa menjadi bersifat satu arah: dari buku resmi ke peserta didik, bukan dari berbagai sumber ke analisis peserta didik.
Kemampuan menganalisis informasi memerlukan perbandingan, identifikasi bias, dan pengujian bukti. Jika buku sejarah resmi telah "menyaring" atau "memurnikan" narasi untuk menghilangkan kontroversi atau glorifikasi, peserta didik tidak akan terbiasa menghadapi kompleksitas, ambiguitas, atau bahkan kontradiksi dalam data sejarah. Mereka tidak akan terlatih untuk mengidentifikasi mengapa ada perbedaan interpretasi atau bagaimana sudut pandang tertentu dapat memengaruhi narasi. Misalnya, jika peran tokoh tertentu diglorifikasi tanpa menyebutkan sisi kelamnya atau kritik terhadapnya, peserta didik kehilangan kesempatan untuk menganalisis karakter dan keputusan secara multidimensional.