Bayangkan suatu pagi Anda datang ke rumah sakit dengan kartu BPJS Kesehatan di tangan. Harapannya sederhana: antre sebentar, obat tersedia, lalu pulang dengan tenang. Namun kenyataan sering berbeda. Antrean bisa memakan waktu berjam-jam, obat esensial kosong, bahkan tenaga medis menyarankan membeli di luar dengan harga yang tidak murah. Di tengah pengalaman seperti itu, pemerintah membawa kabar baru yang membuat publik kesal: mulai 2026, iuran BPJS Kesehatan akan naik.
Publik pun spontan bertanya, naik untuk apa? Apakah layanan benar-benar akan membaik, atau masyarakat sekadar diminta membayar lebih untuk kualitas yang sama?
Stabilitas Dana dan Janji Keberlanjutan
Pemerintah menegaskan bahwa penyesuaian iuran bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Menteri Keuangan menyampaikan, Dana Jaminan Sosial Kesehatan harus tetap stabil agar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa terus melindungi lebih dari 200 juta jiwa.
Mulai 2026, struktur iuran BPJS Kesehatan akan berubah cukup signifikan. Bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI), iuran bulanan naik dari Rp 42.000 menjadi Rp 57.250 per orang, dengan pemerintah menyiapkan alokasi sebesar Rp 66,5 triliun untuk menanggung 96,8 juta jiwa dari total anggaran kesehatan yang mencapai Rp 244 triliun. Sementara itu, peserta mandiri kelas III akan merasakan dampak langsung dari pemangkasan subsidi: jika sebelumnya pemerintah menutup Rp 7.000 per bulan, mulai tahun depan subsidi itu berkurang menjadi Rp 4.200 sehingga peserta harus merogoh kocek lebih dalam dengan membayar Rp 53.050 per bulan. Tak hanya itu, pemerintah juga menyiapkan dana tambahan sebesar Rp 2,5 triliun untuk menopang kelompok peserta independen yang tidak termasuk kategori PBI.
Sri Mulyani menekankan bahwa kenaikan ini dirancang dengan hati-hati agar sesuai dengan daya beli masyarakat. Pemerintah juga menyiapkan instrumen pembiayaan alternatif, mulai dari supply chain financing hingga mekanisme pendanaan jangka pendek untuk menjaga likuiditas dana BPJS.
Secara akademis, argumen ini bisa dipahami. Literatur keuangan publik menegaskan bahwa asuransi sosial harus punya basis iuran yang kuat. Jika tidak, risiko adverse selection meningkat: orang sehat enggan membayar, sementara mereka yang sakit bertahan. Hal ini bisa menyebabkan biaya makin membengkak.
Statistik yang Mendorong Keraguan
Faktanya, meski ada penyesuaian, struktur BPJS tetap tertekan. Pada 2024 saja, defisit tercatat Rp 7,14 triliun dan berpotensi membengkak hingga Rp 9,56 triliun. Bahkan, ada proyeksi yang menyebut nilai defisit bisa menyentuh Rp 20 triliun. Kondisi ini menunjukkan bahwa kenaikan iuran saja tidak cukup tanpa adanya reformasi sistem yang lebih menyeluruh.
Tantangan besar juga datang dari pembiayaan penyakit katastropik. Sekitar 31 persen dari total dana JKN terserap untuk penanganan penyakit berat seperti jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Delapan penyakit katastropik saja menghabiskan Rp 37 triliun pada 2024. Jika tidak dikelola secara efisien, beban pembiayaan ini akan terus membengkak dan semakin memberatkan sistem jaminan kesehatan nasional.
Suara Publik dan Kekecewaan