Pendidikan inklusif adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus untuk mengikuti pembelajaran yang sekelas dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusif bukan hanya tentang menempatkan siswa penyandang disabilitas fisik di kelas atau sekolah reguler, juga tidak hanya tentang memasukkan sebanyak mungkin anak berkebutuhan khusus ke dalam lingkungan pendidikan reguler bagi siswa. Lebih dari itu, inklusi juga mengacu pada bagaimana orang dewasa dan teman sekelas normal menyambut semua siswa di kelas dan menyadari bahwa keragaman siswa tidak memerlukan pendekatan satu ukuran untuk semua. Inklusi dalam perkembangannya juga mencakup siswa yang berkeberuntungan, yang hidup terpinggirkan, yang menyandang disabilitas dan yang kemampuan belajarnya di bawah rata-rata kelompoknya.Â
Tujuan pendidikan inklusif
1. Menjamin bahwa semua anak memiliki akses terhadap pendidikan yang dapat diakses, efektif, relevan dan sesuai di wilayah tempat tinggalnya
2. Memastikan bahwa semua pihak menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga setiap orang terlibat dalam proses pembelajaran.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang membutuhkan perhatian khusus akibat gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Jika berbicara tentang istilah disabilitas, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan pada satu atau lebih kemampuan, baik fisik seperti buta dan tuli, maupun psikologis seperti autisme dan ADHD. Pengertian lain bersinggungan dengan istilah pertumbuhan dan perkembangan normal dan abnormal pada anak berkebutuhan khusus yang tidak normal yaitu adanya keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang biasanya terlihat pada usia lima tahun, seperti kemampuan berjalan pada usia 3 tahun. Hal lain yang menjadi dasar penggolongan anak berkebutuhan khusus adalah ciri-ciri tumbuh kembang anak yang tidak tampak (missing) sesuai dengan usia perkembangannya, seperti ketidakmampuan mengucapkan sepatah kata pun pada usia tersebut. tahun. 3 tahun, atau penyimpangan perkembangan seperti ekolalia atau perilaku membeo terjadi pada anak autis.
Tercipta pola interaksi sosial yang harmonis antara ABK dengan seluruh pelaku pendidikan mengacu pada pola sirkuler, khususnya pola interaksi yang menunjukkan kebebasan setiap anggota untuk berhubungan dengan pihak manapun dalam kelompok. Berdemokrasi secara vertikal (hubungan ke atas) antara siswa berkebutuhan khusus dengan guru dan kepala sekolah, maupun secara horizontal (saling menguntungkan), yaitu ABK dengan ABK sekelas dan siswa normal. Ketiga teori sosial yang digunakan dalam penelitian ini bersifat plural.
Sekolah inklusi harus melakukan upaya terkait kerjasama antara orang tua dengan guru atau sekolah, terutama dengan menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan, melakukan komunikasi awal dengan orang tua dan memberikan kesempatan kepada orang tua untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di sekolah. Bentuk kerjasama antara guru/sekolah dan orang tua siswa antara lain: pola asuh, komunikasi, kerelawanan dan keterlibatan orang tua dalam pembelajaran anak di rumah.