Mohon tunggu...
Aisha Kalila Fassya
Aisha Kalila Fassya Mohon Tunggu... Siswa SMA Labschool Cibubur

Kini, saya merupakan seorang siswa kelas tiga SMA Labschool Cibubur dengan hasrat yang besar terhadap ilmu hayati, teknologi, dan seni rupa. Jika saya diminta untuk mendeskripsikan diri saya sendiri, saya akan mengatakan bahwa saya adalah orang yang sangat ingin tahu; saya selalu berusaha untuk menjelajahi hal-hal yang belum pernah saya coba sebelumnya. Saya mencoba menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari penjelajahan ini dengan cara-cara inovatif. "Tak ada yang berani, tak ada yang berhasil." — Peribahasa Prancis

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

AI Bisa Baper? Penggunaan AI dalam Analisis Pemeriksaan Ekokardiogram

7 Oktober 2025   14:25 Diperbarui: 7 Oktober 2025   14:19 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Perbandingan Ventrikel yang Melebar dengan Takotsubo Asli (Sumber: The NHSJS)

Kesehatan jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi, sayangnya tingkat kesehatan kardiovaskular masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada tahun 2023 yang menyatakan bahwa 877.531 orang dari semua umur terdiagnosis penyakit jantung (SKI, Kemenkes RI, 2023). Data tersebut menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling banyak mengalami penyakit jantung berada pada usia 25-34 tahun yaitu sekitar 140.206 orang per 2023. Masalah kesehatan jantung dan pembuluh darah khususnya pada dewasa awal menjadi masalah krusial yang membutuhkan penyelesaian. Kondisi ini harus segera diatasi karena sejalan dengan hal tersebut, WHO memiliki target pada tahun 2025 untuk mengurangi sebesar 25%  pada angka kematian dini atau premature mortality akibat penyakit Noncommunicable Diseases (NCDs) atau penyakit tidak menular, termasuk penyakit jantung.

Kondisi penyakit kardiovaskular pada kelompok umur dewasa awal tidak dapat dianggap sebagai hal yang sepele. Penyakit kardiovaskular merupakan jenis penyakit yang terjadi karena adanya gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah (Widiastuti, 2021). Adapun beberapa jenis kardiovaskular antara lain: coronary artery disease (CAD), peripheral artery disease, cerebrovascular disease, cardiomyopathies, dan lain sebagainya (Lopez, 2023). Dari beragam jenis penyakit jantung tersebut, cardiomyopathies menjadi salah satu jenis penyakit kardiovaskular yang sangat menarik untuk diperdalamkan, terutama pada varian Sindrom Patah Hati atau nama istilah medisnya Takotsubo Cardiomyopathy.

Kardiomiopati Takotsubo, juga dikenal sebagai sindrom patah hati atau broken heart syndrome, terjadi ketika sebuah kejadian emosional atau fisik yang stres menyebabkan ventrikel kiri jantung melebar, yang mengakibatkan gagal jantung akut (Boyd, 2020). Seorang spesialis jantung di Jepang pada tahun 1990 melaporkan kasus pertama kardiomiopati takotsubo. Kata "takotsubo" memiliki asal usul dari nama istilah Bahasa Jepang untuk pot perangkap gurita, yang memiliki bentuk leher yang menyempit dan dasar yang bulat seperti bentuk ventrikel kiri jantung yang melebar di bagian bawahnya (Komamura, 2014).

Seperti namanya yang sudah jelas menunjukkan bahwa penyakit ini biasa  diakibatkan karena kehilangan yang tidak terduga, penyakit, atau cedera pada orang yang dicintai. Namun, selain itu, sindrom patah hati ini juga berkaitan dengan penurunan tekanan darah yang mendadak, serangan asma, dan bahkan public speaking. Gejala awalnya antara lain ada nyeri dada, sesak nafas, dan detak jantung tidak teratur atau aritmia. Akan tetapi, gejala yang paling sering muncul adalah penyumbatan pada arteri koroner yang menghalangi darah untuk mengalir ke otot jantung. Meskipun demikian, keadaan dimana arteri koroner bersih dari sumbatan juga tetap memungkinkan adanya gejala-gejala kardiomiopati takotsubo.

Umumnya, untuk mendeteksi sindrom patah hati ini, membutuhkan alat untuk menganalisis aktivitas listrik jantung yaitu dengan elektrokardiogram, ekokardiogram atau USG jantung untuk memvisualisasikan pergerakan dan struktur jantung, kateterisasi jantung untuk memastikan diagnosis yang lebih akurat. Sebenarnya, alat yang paling penting dalam mendiagnosis kardiomiopati takotsubo adalah kateterisasi jantung. Alasannya adalah karena kardiomiopati takotsubo sulit untuk dideteksi karena memiliki ciri khas yang tidak dapat dibedakan dengan serangan jantung (Ahmad, 2023). Hanya alat kateterisasi jantung yang mampu untuk membedakan keduanya. Kateterisasi jantung merupakan pemasangan dan pemasukan tabung plastik kecil atau kateter ke dalam arteri dan vena menuju jantung untuk memperoleh gambar x-ray dari arteri koroner dan ruang jantung, serta untuk mengukur tekanan di dalam jantung (Kern, 2016). Sayangnya, meskipun memiliki dampak yang bermanfaat, tetapi kateterisasi jantung membutuhkan waktu yang lebih lama, prosesnya lebih menegangkan bagi para pasien, serta terdapat beberapa risiko dari prosedur ini seperti terjadinya pendarahan pada lokasi pemasangan, adanya gumpalan darah, dan bahkan kerusakan pada pembuluh darah atau katup jantung (Mayo Clinic, 2025). Maka dari itu, hadirlah Artificial Intelligence khusus untuk membantu alat diagnostik jantung, Ekokardiogram, dengan tujuan agar dapat membedakan kardiomiopati takotsubo dengan serangan jantung dengan prosedur yang jauh lebih simpel dan nyaman bagi pasien.

Ekokardiografi merupakan salah satu cara pemeriksaan non-invasif untuk menilai fungsi dan struktur jantung (Fitra, 2022). Secara umum, pengerjaan ekokardiografi relatif mudah. Pasian hanya akan diminta untuk berbaring lalu bisa diberikan anestesi agar proses lebih nyaman kemudian dokter mungkin saja akan melakukan penyuntikan larutan garam atau zat pewarna khusus ke pembuluh darah agar gambar ekokardiografi jantung dapat dilihat secara lebih jelas (Makarim, 2023). Hanya saja, prosedurnya bergantung berdasarkan jenis ekokardiografi yang dilakukan, tetapi secara umum proses ekokardiografi lebih nyaman dibanding kateterisasi jantung. Namun, alat ini masih memiliki kekurangan dalam mengidentifikasi Takotsubo syndrome (TTS) dan Myocardial Infarction (MI) atau serangan jantung. Oleh karena itu, muncullah penelitian-penelitian yang membahas dan mengevaluasi seberapa baik AI dapat membantu mengenali perbedaan antara TTS dan MI dengan menganalisis video ekokardiogram.

Berkat dukungan dari AI, untuk membedakan TTS dan MI melalui ekokardiogram menjadi lebih akurat sebab AI dapat melihat pola gerakan jantung yang sangat halus dan tidak dapat dikenali oleh para kardiolog. Untuk menilai seberapa efektif AI dalam ekokardiografi, para peneliti menggunakan AUC atau Area Under the Curve untuk mengukur kemampuan AI dalam membedakan kardiomiopati takotsubo dan serangan jantung. Nilai AUC umumnya berkisaran 0-1.0, semakin mendekati angka 1, maka AI semakin akurat. Artificial Intelligence memiliki AUC 0.79, sehingga ketepatannya 79% dan rata-rata AUC para dokter adalah 0.71 atau 71% akurasinya (Laumer et al., 2022).

Selain itu, penggunaan AI dalam analisis otomatis diagnosisnya membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan secara manual. Dengan demikian, semakin cepat hasil diagnosisnya keluar, semakin cepat juga penanganan dari dokter dapat dilakukan terhadap pasiennya. Dengan adanya implementasi AI, kebutuhan penggunaan alat kateterisasi jantung untuk mendiagnosis akan berkurang. Apabila AI dalam ekokardiogram dapat mengidentifikasi mana yang TTS dan mana yang MI secara lebih akurat, maka para pasien dapat terhindar dari risiko prosedur kateterisasi jantung.  Bahkan, rumah sakit yang berlokasi di wilayah terpencil dan memiliki ahli kardiovaskular yang terbatas, mereka dapat menerapkan teknologi AI ini untuk melakukan diagnosis awal sebagai alat bantu pelayanan jantung dan pembuluh darah.

Kendati demikian, masih terdapat beberapa kendala dari aplikasi kecerdasan buatan dalam membedakan TTS dengan MI, antara lain keterbatasan data pelatihan berupa kekurangan jumlah dan keragaman dataset. Hal ini disebabkan oleh langkanya pasien TTS dibanding dengan pasien MI, maka data untuk mengasah AI masih sangat sedikit. Dikhawatirkan, AI yang diterapkan akan membentuk sebuah sikap berat sebelah, karena ia hanya mengetahui pola pasien serangan jantung. Di samping itu, saat ini, AI masih dalam tahap kesulitan untuk menjelaskan mengapa Ia membuat keputusan tersebut, hal ini membuat AI sering dianggap sebagai "black box". Setelah memberikan hasil ekokardiografi, ia belum mampu untuk menguraikan alasan dari hasil tersebut. Akibatnya, diagnosis yang seharusnya bisa dijelaskan agar pasien mendapatkan keputusan yang transparan tidak ada. Meskipun kecanggihannya, AI masih butuh pengawasan manusia dengan tujuan agar kesalahan-kesalahan sistem dalam penafsiran data tidak terjadi (Wehbe, 2022).

AI juga mengalami keterbatasan uji klinis. Walaupun pada laboratorium, kinerja AI tinggi, tetapi saat digunakan dalam kehidupan nyata, performanya justru menurun. Mayoritas penelitian AI ini dilaksanakan menggunakan data yang sudah ada sebelumnya atau dengan cara retrospektif, AI jarang diteliti dalam cara prospektif atau dari pasien yang sedang diperiksa secara langsung di rumah sakit. Kemungkinan, membedakan kualitas gambar, posisi pasien, serta beragamnya ekokardiogram di rumah sakit masih sulit untuk dikenali oleh AI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun