Perkembangan teknologi menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari dalam beberapa waktu ini, banyak manusia berlomba-lomba melakukan inovasi teknologi yang memberikan dampak terhadap kehidupan manusia. Akibat dari kemajuan teknologi itu telah membawa perubahan besar dalam dunia kerja, terutama dalam dunia kerja. Otomasi, kecerdasaan buatan (AI), dan robotika semakin menjadi perhatian banyak industri karena mempermudah perusahaan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Penggunaan teknologi mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas secara signifikan serta membantu berbagai jenis pekerjaan, mulai dari tenaga kerja terampil, terdidik, hingga pekerja kasar. Laporan McKinsey (2021) menyebutkan bahwa sekitar 56% pekerjaan di sektor manufaktur Indonesia berpotensi tergantikan oleh otomatisasi pada tahun 2030. Hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi bukan hanya fenomena global, tetapi juga terjadi di Indonesia. Banyak industri mulai beralih ke sistem berbasis mesin untuk meningkatkan efisiensi dan menekan biaya operasional. Perubahan ini dikenal sebagai disrupsi digital, yaitu pergeseran besar dalam cara kerja industri akibat inovasi teknologi yang mengubah sistem produksi dan struktur ketenagakerjaan. Disrupsi digital di sektor industri terjadi ketika teknologi seperti otomatisasi, kecerdasan buatan (AI), dan robotika menggantikan pekerjaan manusia yang sebelumnya dilakukan secara manual. Â Perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi pekerja di sektor manual, karena teknologi semakin mampu menggantikan berbagai jenis pekerjaan. Menurut Ngomongin Uang, beberapa profesi yang berisiko tergantikan pada tahun 2030 antara lain customer service, petugas transportasi, akuntan, pencatat material, dan penjaga stok, serta banyak pekerjaan lainnya. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana nasib para pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi?
Otomasi ibarat pisau bermata dua: di satu sisi, meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi di sisi lain, berpotensi menggantikan pekerjaan manusia. Meskipun membawa tantangan besar bagi tenaga kerja, bukan berarti tidak ada solusi untuk pekerjaan yang hilang akibat otomatisasi. Menurut Ngomongin Uang, sekitar 92 juta pekerjaan diperkirakan akan hilang pada tahun 2030. Namun, di saat yang sama, akan muncul 170 juta pekerjaan baru di sektor teknologi, ekonomi, dan energi hijau. Secara keseluruhan, ini berarti ada tambahan 78 juta pekerjaan baru. Banyak pekerjaan baru yang memperlukan kemampuan di bidang teknologi yang perlu keterampilan khusus yang akan membawa internet ke level yang lebih masif seperti contohnya pengembang Web 3 dan blockchain. Otomasi memang membawa tantangan besar bagi tenaga kerja, tetapi bukan berarti tidak ada solusi. Lalu bagaimana seharusnya tenaga kerja baru di Indonesia merespons tren perubahan ini? Apakah pemerintah dan perusahaan cukup siap dalam menghadapi gelombang perubahan ini?
Perkembangan teknologi dan disrupsi digital pada ekonomi memiliki keterkaitan erat dengan agenda ke-8, 9, dan 17 dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI) di sektor industri dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sejalan dengan Agenda ke-9 SDGs yang berfokus pada inovasi, industrialisasi berkelanjuran, dan infrastruktur. Namun, dampak negatifnya seperti hilangnya pekerjaan karena dapat digantikan oleh teknologi justru dapat menghambat pencapaian Agenda ke-8, yang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang layak bagi semua orang. Oleh karena itu, diperlukan strategi kolaboratif antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan yang sesuai dengan Agenda ke-17 untuk memastikan bahwa perkembangan teknologi tetap mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan tidak memperburuk kesenjangan tenaga kerja. Namun, tantangan utama yang belum terpecahkan adalah bagaimana mengelola transisi ini agar tidak memperburuk kesenjangan sosial. Otomatisasi tidak hanya menghilangkan lapangan pekerjaan, tetapi juga berpotensi memperlebar ketimpangan ekonomi. Pekerja yang tidak memiliki keterampilan di bidang teknologi akan kesulitan beradaptasi dan menemukan pekerjaan baru, sehingga semakin terpinggirkan. Sebaliknya, tenaga kerja dengan kompetensi yang sesuai dengan perkembangan teknologi akan lebih dicari oleh perusahaan, yang berpotensi memperkecil kesenjangan tersebut. Fenomena ini merupakan bagian dari disrupsi digital, yaitu perubahan besar yang terjadi akibat inovasi teknologi yang menggantikan metode konvensional dengan sistem yang lebih efisien. Seiring dengan perkembangan ini, pekerjaan yang sebelumnya bergantung pada tenaga manusia kini semakin terdigitalisasi, menciptakan perubahan struktural dalam pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, tantangan besar yang harus dihadapi adalah bagaimana memastikan transisi menuju otomatisasi berjalan inklusif, serta bagaimana pemerintah dapat merancang kebijakan yang mendukung pekerja terdampak agar mereka tetap memiliki peluang di dunia kerja.
Data yang menunjukkan tingkat otomatisasi berdasarkan laporan Future of Jobs Report 2020 dari World Economic Forum. Grafik ini membandingkan proporsi pekerjaan yang dilakukan oleh manusia dan mesin pada tahun 2020 serta prediksi untuk 2025. Proporsi pekerjaan manusia menurun, dari 67% (2020) menjadi 53% (2025), sementara otomatisasi meningkat dari 33% menjadi 47%. Data ini menunjukkan bahwa tingkat otomatisasi meningkat secara signifikan dalam lima tahun. Artinya, peran mesin dan kecerdasan buatan semakin mendominasi dunia kerja, mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia untuk beberapa jenis pekerjaan. Ini sejalan dengan fenomena disrupsi digital, di mana teknologi menggantikan banyak pekerjaan konvensional, terutama yang bersifat rutin dan repetitif.
Dalam sistem ekonomi seperti ini, otomatisasi sering kali dianggap hanya menguntungkan segelintir pihak, terutama mereka yang memiliki keterampilan tinggi, sementara pekerja lainnya tertinggal. Namun, pada kenyataannya, otomatisasi tidak sepenuhnya menggantikan pekerjaan manusia, melainkan hanya mengambil alih tugas-tugas tertentu yang sebelumnya memerlukan lebih banyak waktu dan energi untuk diselesaikan. Dengan bantuan teknologi, pekerjaan yang dulunya memakan waktu berjam-jam kini dapat diselesaikan dalam hitungan menit oleh komputer. Bahkan, dalam beberapa kasus, otomatisasi justru membuka peluang baru bagi pekerja untuk fokus pada tugas yang lebih kompleks, meningkatkan kreativitas, serta mendorong mereka untuk terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Presiden Direktur PT McKinsey Indonesia Phillia Wibowo mengatakan, automasi bakal mengubah struktur dan lapangan pekerjaan di Indonesia. "Sekitar 16 persen aktivitas pekerjaan di Indonesia bisa diautomasi pada 2030, ini setara dengan 23 juta pekerja. Pada prinsipnya semua pekerjaan bisa diautomasi, bahkan sebagian tugas CEO juga bisa diautomasi, namun skalanya beda-beda," kata Philia.
Di sisi lain, era otomatisasi juga menciptakan peluang kerja baru. Diperkirakan sekitar 27 juta pekerjaan baru akan muncul sebagai dampak dari otomatisasi, ada potensi tambahan sejumlah 9 juta pekerjaan di bidang infrastruktur dan real estate. Selain itu, sekitar 10 juta jenis pekerjaan baru akan diperkirakan muncul dan belum pernah terpikirkan sebelumnya. Secara kesuluruhan, Indonesia berpotensi memperoleh keuntungan bersih dari jumlah lapangan pekerjaan antara 4 hingga 23 juta lapangan kerja pada tahun 2030. Meskipun mendapat keuntungan lapangan pekerjaan perlu diingat bahwa era disrupsi digital seperti ini menuntut tenaga kerja baru untuk memiliki keterampilan baru khususnya di bidang teknologi dan informasi.
Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, tenaga kerja baru perlu memahami kemampuan apa yang mereka miliki, memiliki keterampilang penguasaan teknologi yang dibutuhkan banyak perusahaan. Tenaga kerja perlu beradaptasi dengan perubahan jaman yang semakin canggih dan mengembangkan keterampilan digital. Kemampuan dalam bidang teknologi, seperti permograman, analisis data, dan keamanan siber, akan sangat dihargai oleh pasar kerja masa depan. Selain hard skill, keterampilan soft skill juga sangat diperlukan seperti kreativitas, kepemimpinan, dan komunikasi akan menjadikan nilai tambah yang tidak dapat digantikan oleh otomatisasi.
Banyak cara bagi individu mengembangkan diri dan beradaptasi dengan perkembangan teknoogi yang sekarang banyak dicari tenaga kerja yang memiliki kemampuan dalam penguasaan teknologi supaya dapat beradaptasi dengan otomatisasi kerja. Mengikuti program pelatihan, belajar bagaimana cara memanfaatkan teknologi untuk mempermudah pekerjaan, dan kemauan dari dalam diri untuk terus belajar dan cepat beradaptasi terhadap ketidakpastian. Program pelatihan pengembangan teknologi seperti pemrograman, analisis data, pelatihan AI, IoT, dan Machine Learning, dan masih banyak program pelatihan lainnya banyak ditemukan di Internet dan beberapa juga ada yang gratis dan bersertifikat. Informasi tersebut seharusnya dapat membantu individu untuk mengembangkan skill mereka dan dapat beradaptasi di era digitalisasi dan mampu mendapatkan pekerjaan layak.
Pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana mereka bisa memimpin upaya untuk reformasi sistem pendidikan dan pelatihan yang sesuai dan dibutuhkan di industri 4.0. Termasuk memperkenalkan kurikulum pembelajaran yang dapat fokus pada pidang keterampilan digital, pemrograman, analisis data, blockchain, Web 3, dan teknologi AI. Program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) harus diberikan kepada calon pekerja dan siswa di sekolah, sehingga mereka kelak bisa beradaptasi menghadapi era digital yang semakin canggih. Berinvestasi lebih di bidang pendidikan dan teknologi juga menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mempersiapkan individu menghadapi era digital dan memberikan dampak positif juga kepada negara.Â
Perkembangan teknologi dan disrupsi digital telah membawa perubahan yang besar dalam dunia kerja, terutama dalam meningkatnya otomatisasi pekerjaan, kecerdasan buatan (AI), dan robotika. Di satu sisi, otomatisasi meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi di sisi lain menghilangkan banyak pekerjaan, terutama pekeraan manual. Fenomena ini menuntut tenaga kerja untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan dituntut untuk memiliki keterampilan baru di bidang teknologi sehingga tetap relevan di pasar kerja. Agar transisi ini berjalan inklusif, kolaborasi antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan diperlukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang siap beradaptasi dalam perkembangan teknologi dan disrupsi digital sehingga Indonesia siap menghadapi era digital dan dapat memanfaatkan peluang pertumbuhan ekonomi.