Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Revolusi Mental di Sektor Hulu Migas

17 September 2016   23:32 Diperbarui: 18 September 2016   00:45 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marjolijn Elisabeth Wajong atau sering disapa Meity, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) sedang memberi pemaparan kepada para kompasioner pada kesempatan Kompasiana Nangkring bersama SKK Migas di Jakarta, 26 Agustus 2016.

"Berapa dana APBN yang dikeluarkan untuk membayar cost recovery industri migas?" tanya Marjolijn Elisabeth Wajong, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) kepada para kompasianer pada kesempatan Kompasiana Nangkring bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Jakarta, 26 Agustus 2016.

Beberapa kompasianer yang hadir mencoba menjawab beragam angka, mulai dari hitungan miliaran sampai triliunan. Suasana sempat hening sejenak setelah semua jawaban dimentahkan oleh ibu yang akrab dipanggil Meity itu.

"Jawabannya... tidak ada!"

Jawaban Meity tampak membuat banyak kompasianer tertegun. Terkesan mereka tidak pernah menyangka bahwa jawabannya tidak ada biaya yang dikeluarkan pemerintah. Artinya, pemerintah tidak ikut patungan dengan swasta dalam kegiatan eksplorasi gas dan minyak bumi. Kok bisa?

Setiap kegiatan eksplorasi minyak bumi dan gas (migas), Negara Indonesia sebagai pemilik cadangan migas mencari rekan bisnis yang kompeten dalam kegiatan eksplorasi. Kedua belah pihak diikat oleh sistem Kontrak Kerja Sama (KKS). Setelah melalui proses lelang, pemenang akan menanggung segala risiko dan biaya dari kegiatan eksplorasi. Negara tidak mengeluarkan modal sepeser pun tidak menanggung risiko apapun.

Fakta di atas bertolak belakang dengan opini umum yang banyak berkembang di masyarakat yang seolah-seolah eksplorasi migas di Indonesia dikuasai oleh asing. Di era pemilu presiden 2014, beredar gambar peta eksplorasi migas di Indonesia yang mayoritas dikerjakan oleh asing. Peta tersebut jelas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai tawar yang rendah di hadapan investor asing yang telah mengambil keuntungan dari harta karun kita.

Sumber http://www.kompasiana.com/ratu.adil/pemerintahan-minyak-2014-2019-siapa-pantas-memimpin_54f6eaf3a33311c65c8b4c73
Sumber http://www.kompasiana.com/ratu.adil/pemerintahan-minyak-2014-2019-siapa-pantas-memimpin_54f6eaf3a33311c65c8b4c73
Padahal kenyataannya, seluruh kegiatan kontraktor migas tunduk dengan KKS dan diawasi oleh SKK Migas. KKS sepenuhnya menguntungkan Negara Indonesia. Karena jika ditemukan cadangan migas yang sifatnya komersial, maka seluruh biaya operasi akan dikembalikan atau disebut dengan cost recovery. Biaya operasi ini bukan keuntungan kontraktor, karena biaya yang dikembalikan sama dengan biaya operasi yang dikeluarkan. Uniknya, cost recovery tidak berupa uang cash tetapi bagi hasil volume migas (in kind).   

Keuntungan lain Negara Indonesia dari KKS itu adalah negara mendapat prosentasi bagi hasil yang lebih besar. Negara Indonesia mendapat 85 persen, sedangkan kontraktor "hanya" mendapat 15 persen. Dengan sistem seperti ini, Negara tidak perlu menggadaikan APBN dan menggantung banyak risiko jika seluruh industri hulu migas dikerjakan sendiri. "Eksplorasi itu biayanya mahal sekali. Sebagai gambaran, kalau mau eksplorasi di daerah baru seperti di wilayah (Indonesia bagian) timur  itu bisa mecapai 100 juta USD. (Perlu diingat) setiap kegiatan eksplorasi belum tentu berhasil (menemukan cadangan migas)," tutur Miety.


Namun pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia masih memiliki daya tarik bagi para investor migas? Miety yang juga menjabat President & GM Santos Ltd, perusahaan migas dari Australia, mengakui bahwa Indonesia cukup menggoda. Ada banyak daerah-daerah potensial yang belum terjamah khususnya di Indonesia bagian timur. Namun untuk sampai ke kegiatan eksplorasi cukup memiliki tantangan, apalagi ada berbagai hambatan yang harus dihadapi para investor terkait perizinan. "Prosesnya panjang, dari persiapan sampai siap ngebor itu bisa memakan waktu 15 tahun lamanya. Padahal kontrak Wilayah Kerja yang diberikan pemerintah hanya 30 tahun. Artinya hanya tersisa 15 tahun saja untuk melakukan produksi."

Proses yang panjang itu tidak mengherankan, karena investor harus "menyediakan waktu" 5 tahun untuk mengurus 341 izin di sektor hulu migas. Ini tidak efisien dan senyatanya merugikan negara sendiri. Karena semakin lama prosesnya maka semakin besar cost recovery-nya. Risikonya, waktu izin ekplorasi yang tersisa hanya digunakan untuk membayarkan cost recovery, sehingga bagian pemerintah yang dalam hal ini untuk kemakmuran seluruh rakyat jadi tinggal sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun