Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kampung Halaman

15 Juli 2017   22:35 Diperbarui: 15 Juli 2017   22:39 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai Kelayan (Foto : Zulfaisal Putera)

"Abang tidak mudik?" tanya seorang rekan dari jauh, akhir Ramadan lalu. Aku tidak mudik. Kampung halamanku di tempatku tinggal sekarang sejak lahir, Banjarmasin. "Kampung orang tua?". Orang tuaku juga lahir di kota ini dan salah satunya wafat dimakamkan di sini. "Wah, ga merasakan sensasi mudik, dong!" Iya. Beruntunglah tinggal jauh dari kampung halaman, punya alasan untuk mudik.

Namun, beruntung juga orang yang sepanjang hidupnya hanya tinggal di kampung halamannya. Anggaran buat mudik bisa digunakan untuk kepentingan lain terkait lebaran. Kita juga bisa tetap silaturahmi dan saling meminta maaf dengan  jiran tetangga yang hidup setiap hari sepanjang tahun dengan kita, tepat di hari Idul Fitri. "Tapi, kalau punya alasan buat mudik, tetap mudikkan?" Ya, pastilah.

Mudik memang bukan sekadar menjenguk kampung halaman, bukan sekadar silaturahmi dengan orang tua dan handai tolan, atau sekadar ziarah ke makam leluhur. Mudik bisa bermakna kontemplasi, melakukan perenungan dengan membulatkan pikiran dan perhatian. Dan ladang perenungan paling pas adalah kampung halaman. Ada hawa masa lalu, asal muasal yang menjadikan diri kita seperti sekarang.

Beberapa teman yang pulang dari mudik bercerita dengan antusias dan sukacita. Pada umumnya, mereka kaget sekaligus bangga karena kampung halamannya sudah mulai berubah. Jalan-jalan sudah lebar dan beraspal, bangunan baru tumbuh subur,  dan efeknya areal persawahan menyempit. Namun, juga ada keharuan karena rumah masa kecilnya tetap asri dan orang tuanya masih gigih bekerja.

Pada situasi demikianlah muncullah nilai-nila hasil perenungan. Bahwa, kita takbisa melepaskan diri dari kehidupan masa lalu, masa kecil, kehidupan yang penuh perjuangan sekaligus ajaran. Bagaimana orang tua berjibaku, bukan sekadar menghadirkan anak-anaknya ke dunia sebagai amanah dari Tuhan, melainkan juga memberikan 'sentuhan' hingga besar, jadi 'manusia', dan menyebar.

Seperti keajaiban, kita sekarang sudah menjadi gubernur, walikota, anggota dewan, jaksa, tentara, polisi, guru, pengusaha, dan profesi lainnya, yang bertugas jauh dari kampung halaman, serta punya istri cantik dan suami gagah dari suku lain. Terbayang bagaimana dulu ketika kecil dan remaja hidup dengan segala suka duka karena semuanya harus berbagi. Jejak-jejak itu terekam abadi di kampung halaman.

Sebenarnya, semua tempat yang kita tinggali bisa menjadi 'kampung halaman'. Kampung halaman utama tentu kampung kelahiran. Kampung halaman berikutnya adalah tempat kita tinggal bersama anak istri atau suami, serta bekerja sekarang. Di kampung ini kita mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Kita juga ikut membangun melalui uang yang dibelanjakan dan pajak yang dibayarkan.

Rekan tentara, polisi, banker, dan beberapa profesi lagi, bahkan punya banyak kampung halaman. Konsekuensi pekerjaan membuat mereka harus berpindah-pindah tempat. Di kampung tempat mengabdi inilah mereka menjadi urang kampung itu, beradaptasi, dan berakulturasi budaya melalui perkawinan diri sendiri atau anak-anaknya. Kondisi ini juga menjadi alasan mudik, ke kampung mertua.

Ada satu kampung halaman lagi yang justru tidak bisa diramalkan. Kampung tempat kita bersemayam. Takada yang bisa menduga di tempat mana hayat akan berakhir. Walau keluarga sudah menyiapkan alkah tempat bermakam kelak, tetapi situasi kondisi bisa saja menyebabkan bertanam di tempat lain. Kampung inilah yang paling abadi, yang akan dijadikan alasan mudik anak cucu, berziarah.

Ramadan sudah lewat seminggu. Aroma lebaran tinggal sedikit lagi. Kampung halaman pun sudah kembali seperti hari biasa. Orang-orang kota itu -- untuk menyebut parapemudik --sebagian sudah balik. Mereka balik bukan hanya membawa sejumput kenangan lebaran di kampung halaman, tetapi juga meninggalkan kesan bagi keluarga di sana. Kesan membanggakan orang sekampung bahwa mereka sudah menjadi manusia yang sukses.

Begitulah kampung halaman, tempat segala asal berasal, tempat segala tunas berkembang, tempat segala rindu bertumpu, dan tempat segala akan kembali. Musim-musim lebaran idul fitri kampung halaman berseri-seri.  Semua tumpah ruah menebar dan meraih berkah. Dan itu terus berulang setiap tahun. Generasi boleh terus silih berganti pulang, tetapi kampung halaman takakan pernah tergantikan. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun