Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada: "Najis" Terima Uang

28 Agustus 2017   23:16 Diperbarui: 29 September 2017   19:26 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Trisno Mais, SAP Mahasiswa Pascasarjana Unsrat Manado.

DINAMIKA pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak kian terasa. Saking memanasnya dinamika tersebut, hingga tak terasa bahwa rakyat kembali akan diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin pada masing -- masing daerah. Dan tak dipungkiri, untuk bisa menduduki posisi strategis (eksekutif) di daerah, pastinya ada Political Marketing yang dilakoni oleh aktor politik.

Bruce I. Newman dan Richard M Perloff dalam tulisannya Political Marketing : Theory, Research, amd Aplication yang dikutif Prisgunanto (2008) mendefinisikan marketing politik sebagai aplikasi prinsip-prinsip pemasaran dalam kampanye politik yang beraneka ragam individu, organisasi, prosedur-prosedur dan melibatkan analisis, eksekusi dan strategi manajemen kampanye oleh kandidat atau partai politik untuk mengarahkan opini publik (Cangara, 2009).

Pada bagian ini, tidak menutup kemungkinan ada petarung daerah yang segara dan akan memperagakan startegi tersebut. Tujuannya sederhana, supaya mampu 'menghipnotis' konstituen. Saking menginginkan sebuah kemenganan dalam kontestasi tersebut, tidak menutup kemungkinan praktek  money politic menjadi halal. Misalnya kasus money politic yang diduga melibatkan anak salah satu calon wakil bupati Kabupaten Jayapura pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 15 Februari 2017 kini sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jayapura.

Fenomena sejenis ini telah merajalela hingga pada tatanan daerah terpencil. Dan untuk merubah hal demikian, kita harus membutuhkan kekuatan penuh dan energi. Karena tak bisa disangkal bahwa paradigma demikian telah mengakar dan cenderung sulit untuk diputuskan.

Momentum Pilkada 2018 ialah 'kairos', bahkan ril pertarungan kekuatan. Karena kemenangan dalam kontestasi ini merupakan harapan terbesar masing -- masing Parpol. Entah dari partai pengusung yang berkoalisi maupun calon perseporangan. Akibatnya para 'juragan' saling aduh kekuatan, strategi apalagi. Dan hal ini bisa saja berpotensi menghalalkan segala cara.

Nah pada konteks ini, peran partai harusanya konkret. Partai yang idealnya sebagai sarana eduaksi politik, pengatur konflik, wadah aspiratif dan rekuitmen politik mestinya berjalan maksimal. Oleh sebabnya, bahwa sistem demokrasi di Indonesia mengharuskan dengan mekanisme Parpol; diberikan kewengan mengusung dan menduduki jabatan startegis (eksekutif juga legislative). Dari dasar pikir ini lah, Parpol tidak bisa menganggap remeh untuk menjalankan fungsinya. Karena jika partai gagalan menjalankan fungsinya, akan berdampak buruk terhadap konstituen; aspirasi tidak tersalurkan, kepentingan publik disepelehkan dan lain sebagainya.

Parpol selekstif dalam melakukan rekuitmen kandidat itu harus. Dalam hal ini, Parpol semestinya telah banyak referensi untuk merefleksikan kegagalan beberapa tahun belakangan ini.

Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilik suara tunggal harusanya mampu memberikan suara 'emasnya' tidak bagi figur yang salah. Mampu berfikir kritis, dan menyakini bahwa suara tersebut 'mahal' dan tidak bisa digadaikan dengan apapun itu, termasuk Rp 500 ribu bahkan, mungkin juga kurang dari itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun