Mohon tunggu...
Yusuf Yanuar Y.
Yusuf Yanuar Y. Mohon Tunggu... Lainnya - .

...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Desaku Tergusur

1 Juni 2017   11:55 Diperbarui: 1 Juni 2017   12:15 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lantunan tembang macapat menggema diantara pohon-pohon jati, menghardik puluhan pipit yang bertengger di tangkai-tangkai padi. Kakek dengan caping duduk diantara kambing gembalaannya, menikmati cengkok tembang kesukaan. Nenek daun sedang asiknya memilah daun jati hasil buruannya, dengan galah berujung pisau tajam guna merontokkan daun-daun jati yang pantas untuk dijualnya dipasar esok pagi. Anak-anak berseragam putih merah, berhamburan di kali, secepatnya menanggalkan seragam dan tas kresek tempat alat tulis mereka, menceburkan diri kedalam kali yang jernih, yang mengalir dibawah bukit pohon jati. Teriak canda gurau mereka bersautan dengan tembang macapat dari kakek bercaping menghibur nenek daun yg sibuk di bukit pohon jati.

Anak kambing meloncat-loncat mencoba kaki-kaki mungilnya berlarian mengitari kawanannya, seakan mengenalkan diri sebagai anggota baru dari kawanan itu, cempe. Puting induknya menjadi kesukaan yang mengenyangkan untuk si cempe dalam beberapa minggu, sebelum rumput muda menjadi makanannya. Tiupan angin sepoi menerpa hamparan padi menyebarkan kesegaran, aroma jerami. Burung kuntul, sesekali hijrah untuk melepas lelah di pematang-pematang, sambil memamerkan kaki jangkungnya berlagak sombong.  

Sayang, semua itu sekarang tinggal kenangan, tidak ada lagi hamparan hijau yang dahulu ada didesaku, yang dahulu hamparan sawah sekarang hanya terlihat deretan perumahan, kali yang dahulu tempat aku bercanda gurau sepulang sekolah, telah menjadi saluran pembuangan olahan pabrik karet. Bukit nenek daun sekarang menjadi tambang pasir yang dikeruk secara liar, truk-truk pasir membuat jalanan rusak, berlubang.  Generasi petani telah diganti dengan buruh kasar pabrik. Industri menguasai kampung halamanku.

Andai saja kaum muda tidak banyak yang merantau ke kota. Status sosial memaksa mereka keluar desa, meninggalkan sawah ternak, memilih menjadi pegawai kantoran, pekerjaan petani dan peternak kurang diminati. Dan saat ini sepulang dari merantau, separuh lahan yang dulunya persawahan akan dibangun perumahan, pondasi-pondasi tengah didirikan. Tembang macapat telah berubah menjadi raungan mesin-mesin berat dari pabrik disekitar desaku. Pulang kampung menjadi pelepas rindu dengan keluarga sanak saudara, namun aku kehilangan sebagian kenangan akan alam desaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun