Mohon tunggu...
Muhammad Yusran
Muhammad Yusran Mohon Tunggu... wiraswasta -

jadilah mausia yang berdedikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu 2019 dan Politik Transaksional

22 Juli 2017   19:10 Diperbarui: 22 Juli 2017   20:20 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: followthefolk.com

                                                                                                       Oleh : Muhammad Yusran

UU pemilu 2019, setelah melalui perdebatan yang alot pada tingkat pansus akhirnya diakhiri dengan voting pada paripurna DPR. Dua opsi yang ditawarkan yaitu opsi paket A dengan pilihan presidential threshold 20-25%, parliamentary threshold 4%, sistim konversi suara ke kursi saint league murni, jumlah kursi perdapil 3-10 kursi  dan paket B dengan pilihan presidential threshold 0%, parliamentary threshold 4%, sistim konversi suara ke kursi kuota here, jumlah kursi perdapil 3-10 kursi. 

Sidang paripurna DPR kemudian menetapkan opsi paket A yang akan digunakan pada pemilu 2019 setelah mayoritas suara anggota DPR menginginkannya, walaupun dampak dari keputusan ini membuat beberapa fraksi melakukan aksi walk out (gerindra,pks dan pan). Setidaknya ada dua hal yang mengganjal dari opsi A ini, yaitu : pertama, pilihan presidential threshold yang 20-25% dan yang kedua, sistim konversi suara ke kursi yang menggunakan metode saint league. Berikut saya akan menyajikan opsi yang mana yang lebih besar peluangnya terjadi politik transaksional.

PRESIDENTIAL THRESHOLD 20-25% VERSUS 0%

Presidential threshold yang 20-25%, kemudian mengganjal dikarenakan, ini tidak akan menghilangkan wajah demokrasi indonesia yang sarat dengan politik transaksional. Yang seperti apa yang kita saksikan selama ini, justru akan menyandera presiden untuk menjalankan program-program yang presiden telah  janjikan pada rakyat. Dengan Presidential threshold yang mengharuskan 20% kursi parlemen dan 25% suara sah hasil penghitungan suara pemilu, akan memaksa setiap parpol untuk berkoalisi agar bisa ikut ambil bagian dalam pilpres. 

Apa yang terjadi kalau setiap parpol memutuskan pertimbangan tersebut yang digunakan untuk berkoalisi, maka yang terjadi, pertama, parpol akan melirik calon partai yang kemungkinan menangnya besar dan meninggalkan apa yang parpol tersebut telah janjikan ke masyarakat (dalam hal masyarakat yang memilih parpol karena ideologi, visi, misi dan programnya). Lain halnya kalau itu 0%, maka setiap partai yang lolos parliamentary threshold 4%, maka akan lebih mendahulukan mencari calon presiden sesuai amanat konstituennya ketimbang memikirkan berkoalisi. Sehingga yang mungkin terjadi ketika partai-partai ini berkoalisi adalah "mengawinkan" dua, tiga atau lebih partai yang mirip secara ideologi, visi, misi dan program partai.

Kedua, tentunya akibat dari hal pertama akan terjadi transaksi antara parpol, menyangkut mahar yang akan diberikan kepada partainya apabila mendukung calon presiden tersebut. Transaksi ini biasanya berupa sejumlah kursi menteri dalam kabinet apabila si calon presiden terpilih. Politik transaksional demikian akan membuat kabinet akan menjadi tidak efektif kalau itu dikaitkan dengan profesionalitas dan kapabilitas menteri dalam menjalankan program kerja kabinet yang merupakan program pemerintahan yang pernah dijanjikan kepada rakyat saat kampanye pilpres. Calon presiden partai yang diharapkan dapat mengaktualisasikan visi dan misi partai telah tergadai dengan transaksi kursi menteri kabinet. Bahakan penguatan sistem presidential yang selama ini banyak di konfirmasi oleh politisi politisi kita, tergadai dengan politik transaksional yang mereka sendiri lakukan dalam berkoalisi. Lain halnya dengan apabila presidential threshold 0%, maka presiden yang hadir akan terbebas dari beban politik apabila terpilih nantinya. Disebabkan bangunan koalisi antar partai pendukung didasari oleh sesuatu yang lebih esensi (ideologi, visi, misi dan program partai). Presiden yang terpilih akan melakukan penguatan di parlemen berdasarkan hal-hal yang esensi tadi. Politik transaksional menjadi hal yang tabu dalam membangun sistim pemerintahannya. Dengan begitu harapan untuk membangun sistim presidential yang kuat akan menjadi sesuatu yang nyata, yang dengan sendirinya cita-cita untuk mensejahterakan rakyat akan lebih kuat aromanya.

SAINT LEAGUE MURNI (SLM) VERSUS KUOTA HERE (KH)

Saint league murni adalah salah satu jenis perhitungan metode konversi suara menjadi kursi yang merupakan turunan dari metode devisor. Dimana metode ini digunakan oleh negara Bosnia-Herzegovina, Denmark, Jerman, Norwegia, Swedia, dan Palestina. Metode ini menggunakan perolehan rata rata suara partai yang paling tinggi untuk dikonversikan ke kursi di setiap daerah pemilihan (dapil). Metode ini akan habis membagi kursi partai yang memperoleh suara tinggi dan bisa jadi hanya menyisakan satu atau dua kursi untuk partai lainnya tergantung perbedaan suara di dapil yang bersangkutan. Cantoh metode saint league murni dengan bp 1,3,5,7 adalah sebagai berikut :

Misalnya disuatu dapil dengan jumlah kursi 4 dengan perolehan suara PDIP 222.000, GOLKAR 102.000,GERINDRA 30.000 dan DEMOKRAT 25.000
                            V/1                V/3             V/5           TOTAL
PDIP            :  222.000(1)      74.000(1)  14800(1)          3
GOLKAR       : 102.000(1)       34.000                               1
GERINDRA : 30.000
DEMOKRAT: 25.000
                                                                  TOTAL             4
Jadi dengan metode saint league murni menghasilkan kursi untuk setiap partai sebagai berikut:
PDIP       : 3 Kursi
GOLKAR : 1 Kursi
GERINDRA : 0 Kursi
DEMOKRAT: 0 Kursi
Sedangkan metode kuota here adalah salah satu jenis perhitungan metode konversi suara ke kursi yang merupakan turunan dari metode kuota.dimana metode ini digunakan oleh negara  Austria, Filipina, Italia, Korea Selatan, Meksiko, dan berbagai negara Afrika. Metode ini menggunakan bilangan minimal tertentu untuk ditetapkan sebagai harga satu kursi dalam dapil tersebut. Metode ini akan mendistribusi perolehan kursi pada setiap dapil hampir merata. Cantoh metode kuota here dengan adalah sebagai berikut :
Misalnya disuatu dapil dengan jumlah kursi 4 dengan perolehan suara PDIP 222.000, GOLKAR 102.000,GERINDRA 30.000 dan DEMOKRAT 25.000. Dengan total suara sah di dapil tersebut adalah 800.000.
Maka harga satu kursi (BPP) di dapil tersebut adalah 200.000.

                                            Sisa suara           TOTAL
PDIP            :  222.000(1)      22.000                  1
GOLKAR      :  102.000         102.000 (1)             1
GERINDRA  :   30.000            30.000(1)             1
DEMOKRAT:    25.000           25.000 (1)            1
                                                   TOTAL             4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun