Mohon tunggu...
Yusep Hendarsyah
Yusep Hendarsyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer, Blogger, Bapak Dua Anak

Si Papi dari Duo KYH, sangat menyukai Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anakku Ingin Bekerja di Bank, Salahkah?

15 Agustus 2019   11:55 Diperbarui: 16 Agustus 2019   18:00 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Kontan | MURADI

Sebagai bagian dari keluarga besar organisasi keislaman Persatuan Islam, Nenek dan Kakek termasuk yang fanatik. Segala-galanya kalau tidak berkenan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW akan mudah dicap bidah.

Sejak kecil saya dan saudara lainnya sering berlibur ke rumah Nenek di Tasikmalaya yang memang rumahnya sangat besar namun ketat dalam soal aturan. Tidur setelah sholat isya dan bangun sebelum adzan subuh berkumandang.

Saya yang alergi dingin tentu sulit beradaptasi dengan suhu air di kamar mandi. Seperti air es saking dinginnya. Nenek saat itu meminta untuk langsung mandi agar tidak dingin. Ajaib rasanya, saat subuh buta kami mandi dan merasakan dingin. Namun setelahnya saya merasakan segar. Aktivitas pun menjadi lancar.

Meski terkenal sangat fanatik, namun faktanya tidaklah demikian. Ayah saya menikah dengan ibu yang latar keluarganya lebih ke NU. Jadilah saya dan saudara kandung lainnya mengaji di dua organisasi keislaman tersebut. Perbedaan pasti ada, namun tak membuat hubungan keluarga besar menjadi retak. Itulah Ukhuwah Islamiyah sesungguuhnya.

Sampai suatu ketika saya mendapatkan informasi bahwa paman, adik kandung Bapak bekerja di perbankan. Dia ternyata bekerja di bank swasta. Saya ingat betul saat itu nama banknya adalah Bank of America. 

Gajinya sangat besar dan menjadi trendsetter keluarga, meski ada juga yang bekerja di BPKP dan Perpajakan namun saat itu bekerja di bank seperti paman saya adalah suatu keajaiban.

Bagaimana tidak, kalau dirunut dengan permasalahan saat ini yang banyak menyatakan bahwa bekerja di bank itu adalah haram karena berkaitan dengan riba, dan riba itu adalah haram. Lalu bagaimana dengan paman saya?

Pernah saya bertanya kepada ayah saya saat itu. Apakah bekerja di bank itu haram?

Ayah saya yang memang terkenal keras, galak dan tak pernah bisa kompromi terhadap sesuatu yang prinsipil mengatakan, "Selama tidak ada keputusan Ulama dan Umaro yang menyatakan bekerja di bank adalah haram, maka pekerjaan Mamangmu adalah syah, halal dan baik untuk dirinya dan keluarga intinya dan keluarga besar."

Itulah pula yang ditanamkan nenek saya dulu kepada Mamang (Paman) saya saat meminta izin untuk bekerja di bank tersebut.

Rupanya pandangan hidup mengenai pekerjaan ini masih menjadi pertentangan hingga saat ini. Haramnya bekerja di bank masih menjadi perbincangan, perdebatan, pengkajian baik secara keagamaan maupun akademis. Saya tak bisa memberikan argumentasi secara empiris , karena tak punya kemampuan soal tersebut. 

Riba memang saya pahami sebagai sesuatu yang haram, karena merugikan. Haramnya adalah bunga berbunga. Meminjamkan uang kepada orang lain, kemudian menerapakan imbal hasil plus kelebihannya. 

Bila tidak bisa membayar utang pokoknya, lalu ada denda (bunga) dan bunga tersebut kemudian berkembang lagi hinga membesar dan menggunung sampai-sampai orang berhutang tidak sanggup membayar bunga nya saja". Benarkah bank seperti demikian?

Tentu orang bank lah yang bisa menjawabnya, sependek yang saya ketahui. Bank tidak menerapkan seperti narasi saya. Apabila ada orang yang belum sanggup membayar hutang di bank, maka ada cara lain yang bisa ditempuh agar ada keringanan. 

Hal ini pernah dialami dan diselesaikan dengan baik ketika adik kandung saya meninggal dunia dan ada utang kartu kredit yang belum sempat dilunasinya.

Dari penjelasan bank tersebut saya mengerti ada mekanisme yang meringankan ahli waris dalam proses membayar hutang tersebut. Dalam kasus tersebut pihak bank menawarkan mencicil semampunya dan tidak ada bunga. Kebijakan bank tersebut tidak saya ambil karena hutang adalah hutang, jadi tetap kami bayarkan lunas secara keseluruhan.

Pemerintah dan Ulama harus bersinergi, Organisasi keislaman yang menganggap bunga bank itu harap ditanggapi oleh Bank Indonesia sebagai sesuatu fatawa yang mengikat konstituennya saja dan tidak berlaku utuh kepada umat Muslim Indonesia seluruhnya.

Di Indonesia Industri Perbankan masih didominasi oleh bank konvensional, sebagian kecil ditopang oleh bank syariah. Artinya fatwa kepada konstiuen itu berlaku agar memindahkan aktivitas keuangannya ke bank syariah.

Pun demikian melalui lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfatwakan haram pada bunga bank sesuai Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004. Fatwa MUI inipun sama yaitu bukan berarti bekerja di bank itu haram, karena bank bukan untuk kalangan Islam saja, tapi untuk semua kalangan dan itu terkait dengan aktivitas perekonomian. Bagi yang masih ragu-ragu bisa memilih untuk bekerja di bank syariah.

Salah satu ketua DKM mushola kami saat kultum di Ramadhan lalu bercerita bahwa dia pun sama menginginkan sesuatu yang sesuai syariah islam. Atas dasar itulah dia berpindah dari pekerjaan dari semula di bank konvensional ke bank syariah.

Dalam menentukan skema bisnis bank syariah, perusahaan pasti sudah mendapatkan bimbingan dan pandangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Syariah Nasional (DSN). Sehingga dipastikan kebaikannya.

Di sinilah titik masalah sebenarnya. Apa yang dikatakan ulama dan pemerintah saat ini belum menemui titik temu. Pemerintah memfasilitasi bagi yang tidak menginginkan bunga bank, bisa menggunakan jasa perbankan syariah. Melalui Majelis Ulama Indonesia, perbankan syariah diharapkan tumbuh besar untuk membangkitkan perekonomian nasional. 

Oh iya, meski perbankan syariah, banyak loh nasabah yang bukan beragama islam yang menjadi nasabah di bank syariah ini. Karena konsepnya yang mengena kepada sisi keumatan.

Bagiamana kalau suatu saat kedua anak laki-lakiku kepengin bekerja di bank. Maka apa yang saya peroleh informasinya itulah yang akan saya sampaikan kepada mereka: silakan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun