Mohon tunggu...
Yusep Hendarsyah
Yusep Hendarsyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer, Blogger, Bapak Dua Anak

Si Papi dari Duo KYH, sangat menyukai Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dimulai dari Sekarang, Berpikir Positif dalam Mendukung Stabilitas Ekonomi Nasional

3 Agustus 2019   19:17 Diperbarui: 3 Agustus 2019   19:21 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : daruttauhid.org

Ibarat musim, ada sebuah siklus yang mendasari sebuah negara memberlakukan perekonomiannya. Ada negara dengan 4 musim, ada juga negara dengan 2 musim. Kedua sistem tersebut sangat memengaruhi perkembangan perekonomian negaranya. 

Bagaimana  setiap warga negara harus bekerja  dan mengumpulkan materi, agar saat di musim semisal musim salju aktivitas memenuhi kebutuhan keluarganya tidak terganggu. Kalau yang di dua musim, musim panas dan hujan seperti di negara Indonesia, bagaimana tanaman semisal  menanam padi masih mengandalkan air hujan (dimusim penghujan) untuk mengairi sawah atau ladangnya. Kalau  sawah atau ladangnya tak ada air  dipastikan kekeringan melanda, bahkan berkurangnya persediaan bahan pokok semisal beras. 

Alam mengajarkan kita untuk selalu berjaga - jaga. Ibarat kisah Nabi Yusuf , AS . yang memberikan tamsil kepada Raja agar berhemat saat 7 tahun musim panen, tidak berlaku boros agar 7 tahun kekeringan berikutnya warga, masyarakat tidak menderita kelaparan hebat. Dahsyatnya kisah dalam Kitab Suci ini adalah masih relevan dengan kondisi sekarang.  Hemat pangkal kaya.

Saya masih teringat, saat ada sebuah majalah  berita yang membuat daftar 100 perusahaan yang akan bertahan 100 tahun kemudian. Beberapa diantaranya adalah Coca Cola,  Nokia, Ricoh, Nike, Prudential, dll.  Sehingga dengan adanya daftar tersebut orang orang yang bekerja di perusahaan ini dan para investor merasa nyaman bekerja dan berinvestasi di sana. Tapi, benarkah demikian dan apa yang terjadi di masa depan tidak ada yang tahu?

" Siapapun yang membeli  saham pada pertengahan Tahun 1929 dan menyimpannya maka ia akan melewati masa tuanya tanpa pernahmelihat  harga sahamnya kembali pada harga sewaktu saham tersebut dibelinya".  Richard M. Salsman 

Dua tahun lalu, kakak ipar saya yang bekerja di salah satu perusahaan yang dinyatakan akan bertahan 100 tahun kemudian ini berhenti kerja,alasan perusaahaan sulit berkembang di Indonesia. Beberapa diantaranya tutup sehingga kakak ipar bersama pekerja lainnya pensiun dini.  Apa yang dikatakan dalam sebuah teori ekonomi belum tentu  sesuai dengan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Yang dilakukan adalah kembali berjaga - jaga apabila resiko kehidupan yang tidak kita inginkan menimpa kita.  Itulah yang disebut dengan keseimbangan .

Sejarah Masa Resesi Ekonomi Indonesia

Tahun 1997- 1998 adalah puncak resesi ekonomi Indonesia. Secara Fundamental , faktor kejatuhan rezim Suharto yang berkuasa selama 32 tahun memulai  waktu kelam perekonomian Indonesia. Harga sembilan bahan pokok (sembako) melambung tinggi , dolar meroket tajam hingga kisaran 17 ribu rupiah per dolarnya. Lalu di Tahun 1999 dollar sempat di angka 9 ribu , namun tak bertahan lama . 

Hingga Tahun ini 2019 dollar berada di kisaran diatas14 ribu rupiah per dolarnya . Artinya butuh puluhan tahun untuk menguatkan perekonomian nasional dari kejatuhan ekonomi. Ituah mengapa dibutuhkan peran masyarakat ekonomi yang besar agar negara ini selalu bisa meminimalkan resiko akibat resesi global maupun nasional.  

Tahun 2008- 2009 , Indonesia lagi lagi terimbas ke dlaam resesi global. Subprime mortage (kepemilikan perumahan ) di Amerika Serikat adalah peenyebabnya. Tahun itu para investor lokal banyak mengalami kerugian , baik itu di bursa saham, proverty dan lainnya.  Pernah suatu ketika di tahun tersebut ada seorang investor dari Bali menelpon saya. Intinya dia telah berinvestasi di bursa saham. 

Saat itu modalnya yang 300 juta diinvesasikan di salah satu saham lokal Indonesia harga saat itu sekitar 7.000 rupiah per sahamnya. Uangnya tidak kuat menahan, harga saham perusahaan yang dibeinya terus turun hingga mencapai titik nadirnya ( menjadi ratusan rupiah per lembarnya). Hingga kini masih bertengger di angak 300 rupiah per lembar sahamnya.  Hingga tepatlah apa kata Richard Ma. Slasman dalam quote yang saya sebutkan di atas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun